Wednesday, December 31, 2003

A k u

Musim penghujan kali ini mengalirkan banjir banjir
di hulu hulu yang mungkin tak terpikirkan olehmu
menara menara di robohkan, tak ada yang menjulang
tanduk tanduk, cula cula di kikir habis , tak ada yang mendongak
pohon pohon tumbang , gedung gedung meledak , tak ada yang di sombongkan
jalan raya melesak ke perut bumi
paradigma keangkuhan rebah , tertimbun tanah
munafikku terkubur air bah
larungkan berkubik kubik sampah ke samudera
lautan kata kata musnah
aku menggigil kedinginan

sungguh musim penghujan ini dahsyat nian
tak ada yang tersisa atau di pertahankan
hanyut semua
aku hilang , tanpa makna
aku , bukan aku
aku tak perduli dimana aku
pasrah berserah…..apa kata takdir
yang sekian lama ku belenggu dalam selubung hitamku

musim penghujan kali ini benar benar dahsyat
banjir bandang matikan semua tembok penghalang
luas kini tak bertepi
lautku , kita bersatu
jadikan aku pantaimu
tempatmu berlabuh , meski hanya riak dan gelombangmu


31 des 03

KOTA MA TI

Kota begitu sepi malam gulita begini
Tak ada lampu , tak ada pelacur berdiri di pinggiran jalan
Bahkan gerombolan anjing pun tak lagi mengendus sampah
Tak muncul selaksa bintang , rembulan padam
Benar benar mati kota ini
Seolah waktu berhenti
Tak ada yang di kejar ,tak ada yang mengejar
Semua diam
Hening
Ruang ruang pekat, kental, beku
Rongga rongga kosong melompong
Dingin menusuk tulang belulang

Maka kuakkanlah beribu dendammu pada pintu pintu
Tendanglah !!! pecahkan setiap sekat
Rembeskan ratusan jeritan di lorong lorong kenikmatan
Yang sekian lama di redam oleh balok balok jati berkawat duri
Teriakkan lantangmu , koyakkan gendang telingaku !!
Aku tak butuh sepi ini, begitu mengerikan bagiku .

Meski aku tahu, tak mustahil bagimu untuk
Kembali suguhkan
Sayat sayat alirkan darah , nanah, membusuk sepanjang
Rentetan musim perang
Mayat mayat bergelimpangan , tumpang tindih memenuhi lapangan .
Sungai air mata !!!

Kota mati ini terlalu sunyi
Bagiku , yang selalu rindu dengan amuk prahara !

31 des 03



Maya pada

Barangkali yang akan kusampaikan adalah ketakutan
Riuh melanda sepanjang jalanan nadiku
Mengkap mengkap di lorong waktu
Meliuk liuk di kedua pupil mataku yang selalu saja keliru
Menatap setiap bayang yang datang
Aku merayap bukan karena gelap
Tapi oleh benderang yang menyilaukan
Sungguh aku gelisah di perbatasan ini
Muara yang tak berarus
Tepi tepi yang bergerigi

Barangkali langit telah menentukan
Satu kecemasan yang tak lebih dari
Sebilah pedang
Tajam berkilau
Menusukkan sejuta rindu
Maya pada

Bergetar setiap zat di ruhku yang penat
Menahan gelombang yang asing menghentak hentak

Sedang aku telalu munafik
Setiap lembar diariku adalah kebohongan
Betapa aku telah menipu
Mata hatiku yang bisu

Hilir mudik aku mencari persembunyian diri
Agar tak memandangmu
Tapi kurasa seutas tali telah menarik narik
Wajahmu timbul tenggelam di kolam penantian
Meski tanpa pengharapan

Aku rebah di padang jingga
Kunikmati saja semburat senja
Menghujaniku dengan hangat sinarnya
Dewa dewa bermain harpa
Melerai lapis demi lapis ketakutan ku
pada sebusur panah dewi Aphrodite
sekali lagi .

30 des03

Saturday, December 27, 2003

Yogyakarta 1

Seperti sebatang bamboo aku merindukan buluh buluh nya
Jagat raya berkeringat setelah seharian mengumpat
Serangkaian rindu ini menghujat
Seakan tak pernah mampat , sepecik air di kali mengaliri dahaga
Pada sekedar petamu, aku bermimpi bekelana
Mengunjungi pesta pestamu yang tak pernah usai

Jemariku menelusuri malioboro
Mataku membayangkan keraton
Berliku liku jalanan di sekeliling pojok beteng
Berkeliat kaliurang ku di waktu embun menyusuimu
Menyusupkan dingin ke segala ruang tubuh
Aku luruh
Di kesudahan keluh kesahku
Kesal rindu tak segera bertemu
Pada kota , sekian lama tak berjumpa ,
simpan prahara berkecamuk
riuh tak bersuara, dendam tak bersumbu
tak pernah layu , membara sepanjang masa
: kangenku.

bagaimana cerita terbaru ,aku sedikt tahu
katanya mahasiswa memenuhi kota
membawa asap knalpot di jalan jalan raya
copet di pasar pasar
gelandangan dan pengemis bertebaran
pemulung, pengemis , pengamen membuat pusing
pelacur , penadah , pencuri , inilah bukti kota masih hidup
belum mati

suatu saat aku kembali
lebur dihiruk pikuk kota leluhurku
menyatu di denyut nadi kenangan tak terkuburkan

des, 03

D I UTARA LAYA

( kepada ibu )

Darah ini merintih ibu
Setiba di nisanmu
Seperti gemerisik angin di sela pohon bamboo

Ku hirup wangi mu ibu
Bak tetesan embun di kelopak mawar
Berpadu dengan tanah basah , setelah gerimis ini .

Betapa dua belas tahun menyiksaku
Adalah khianatku terhadap rindu
Belai belai jemarimu
Betapa resah aku mengelana dari waktu ke waktu
Melumat segala rasa , suka dan duka
Kini aku pulang ibu , membenarkan kata katamu

Aku ingin menangis lirih lirih
Sambil kubaringkan kepalaku
Anggap aku rebah di pelukmu yang hangat
Dan usaplah kepalaku , sama seperti dulu

Dingin dan beku , makammu ibu
Membaringkan segala yang ku perlu
Andai bisa , ingin aku mengulang waktu
Mempersembahkan bakti
Mengusung asamu jadi satu janji
Nyata di kemudian hari
Berebut kesempatan dengan ajalmu
yang datang dini bagiku

Kini aku didera sejuta rindu
betapa aku malu pada masa lalu
telah membentangkan jarak kita ,ibu
dan saat kita tak berjarak kini ,kau telah
diam membisu .


(yogya , oktober 2003 )

OASE ?

Di danau yang segera kering ini
Aku berkaca , di
kedalaman yang menyedihkan
Ada tawa terpenggal ,ada senyum terpatahkan
oleh kata kata yang kehilangan suara .
masih saja semua sama
seperti ketika lubang besar menganga ,
menimbun jasad jasad mimpi

lalu seperti angin yang berdesir di pucuk cemara
kau berlalu di hadapanku , membawa luka yang sama
hendak kemana kau mengubur lukamu itu?
tanyaku , sambil terus menggali lobang kubur
bagi lukaku sendiri.
kau jawab, hendak ku pasang di jendela jendela hati
suatu saat akan ku pandang lagi , nanti

aku menggali dan terus saja menggali
tapi tak satupun ku baringkan di lobangnya
kepayahan percuma !

tapi ku lihat kau mulai tersenyum
memandang hiasan luka di jendela hatimu
kau gilakah ? seruku
ini nikmat , jawabmu

aku berhenti menggali
dan mulai mengikuti langkahmu
ternyata luka itu indah
ternyata rindu itu bisu
tak mesti di kuburkan

kini aku tenang menikmati kenangan
berjalan tanpa beban
aku hilang
dirimba entah apa namanya
aku tak ingin bertanya apa apa

di danau yang segera kering ini aku berkaca
seolah ada dirimu di balik sana
sebagai diriku
seolah telah ku mengerti inci demi inci
kukenal satu persatu setiap
jawaban yang hendak kutanyakan.
Benarkah penglihatanku ?
Ataukah ini halusinasi , oase di padang sahara?









Ziarah

Aku ziarah di makam makam kenangan kita
Muara muara yang telah kering airnya
Jejak jejak kaki kita telah hilang entah kemana
Seolah terik dan hujan memusnahkan segala
Yang kita ukirkan di sepanjang sisinya

ruh ruh rindu , kemanakah kamu
tak lagi kutemui bayangmu di sini
kosong tak berpenghuni , pantai ini
hilang rasa , sirna duka ,lenyap suara
bahkan pasir pasirnya tak lagi mengenaliku
debur ombaknya tak menyapaku
aku asing di tanah leluhurku

di pantai sejuta kenangan telah di taburkan
di pantai sejuta kesedihan lalu di tebarkan
di pantai lanskap lanskap diam bertumbuhan
di pantai kumerayap bangun lagi perlahan
menantang badai , gelombang
bermacam macam cerita : tawar !

Enyah lah gelap , merdekalah cermin cermin
di sepanjang dinding
Yang semenjak musim kesedihan , terus menerus
memantulkan wajah wajah luka

enyahlah rindu , pergilah bayang bayang
seberangi lah lautan,
pantai ini milikku sekarang !

Putih bersih pantai ini , kini
ia bernama : pengharapan

aku ziarah di makam makam kenangan kita
tapi tunjukanlah,dimana jasad kita ?


( my illusion on Matak island , 27 des 03 )

Tuesday, December 23, 2003

D I T EP I B U Y A N

Hening , rasakanlah hening ini,
beningnya, mampu meninju ninju
rusuk rusuk kalbu.
Padatkan berbagai makian
bagi kelima indraku yang tertipu .
hati yang tertipu.

Di tepi mataforgana ini , aku mencari
Apa yang bisa ku temukan di balik pecahan kapal
Adakah sebongkah kerinduan masih bersandar
Atau sepercik rasa percaya

Di tepi danau Buyan , angin bertiup sepoi
Bagai kelepak burung di langit , hati yang tertipu
oleh senyummu , menjerit .
Tiadakah kau mendengar nya , selagi telingamu
belum tersumbat , oleh desing desing mesin itu
Bagai sekawanan serigala , renyah
tawamu , menyeretku ke tengah hutan.
Tiadakah kau lihat , sebelum matamu
di butakan oleh asap pabrik limbahmu.
Rasakanlah , sayang, rasakan….semua telah terlambat kini.
Berlalu di hempas cercaan kata katamu sendiri.
Celah celah itu begitu sempit , tuk
sekedar lintasi , usung memori.

Menggelepar riak riak kecil di ujung jemari kaki
Membasahi ironi tak kunjung ku kemasi
Aku masih ingin duduk berlama lama di sisi danau ini
Sebelum pulang kekotamu, singaraja.

Tepi danau Buyan, des 03





K E PA D A

kepada dewa dewa di kepalamu
tetaplah agung bersemayam segala ayat ayat pembunuh sepi
jangan kau biarkan lari, sebelum kau sendiri berlari
ke pelukanku lagi
aku mewangi di rerimbunan daun daun sirih
, menggodamu dengan julur julur lidahku
kau terkesiap di engahan nafasku , erangan ku membuatmu setengah gila !
perangkap ini kita bangun lagi bersama , setelah kita sama sama
lepas dari jebakannya .

Takkan ada yang terluka oleh kemunafikan ini
Desahku merdu, pelukmu erat
Perkasamu tindisi tubuhku yang meliuk liuk bakar syahwat
Dan bisik rayuku
Memacu laju darah di rongga rongga kelamin kita

Tak harus ada yang kecewa
Jika tak terenggut kenikmatan semu ini
Buai buai kaku di keremangan cahaya lampu
Saling mendekap , tak henti tanganmu
memainkan puting puting susuku

Kepada tubuh tubuh mati ini
Telah tercapai nafsu birahi
Meski tanpa rasa, tanpa cinta
Pengganjal sepi , di pelosok desa tempatmu mengelana
Jelas ini angkara murka , bagi dewa dewa yang
selalu bertahta di kepalamu
Sedang mabuk kah mereka?

Kepada dewa dewa di kepalamu,
Salam ku kepada mereka .
Bilang aku selalu ada di setiap keping hatimu yang buta

K A TA L O G S E P I

Malam pekat, hening merayap , hitam julur kan lidah lidahnya
didadaku ,yang selalu menggumpalkan ragu , menjadi sepotong
tangis tersendat ,tak terbaca olehmu.
Di kegelapan ini , sebagaimana langit telah melukiskan
malam , banyak yang harus di pasung.
Mulut mulut, tangan tangan , kaki kaki , musti diam tak bergerak
Biarkan kabut menyelimuti , tutup dekap erat , hatiku bersetubuh
dengan sunyi.
Dalam dan syahdu , renggut semua jerit dan ngilu .
Padu padan kan getir itu , isakku ditumpukan semak alang alang .
Hanyakah kekelaman terpancar di pelupuk mataku,
tanpa tergantikan oleh remang sinar cahaya
Rembulan.
Kekalkah badai mengombang ambingkan biduk lemah ini?

Di sudut dunia kita yang maya , kita bertemu
di sudut yang lebih nyata , kita lepaskan tali itu
dari tonggak tepi dermaga, hanyut aku , ke tengah
samudera yang tak ku tahu dimana tepinya
sebagai perempuan , salahkah tangisku ?
gentar aku di tikam seribu taifun
menggigil aku di terkam gelombang
sedang bayangmu tetap duduk di situ
menertawaiku.

sepi ini tak kunjung selesai
hanya oleh bisik bayu di telingaku





D A R I T E P I A N L O V I N A

Dari tepian ke tepian aku tak usai memandangmu
Selalu saja menghitam, bagai jelaga di torehkan
di sekujur mimpi mimpi semu ,
bertahan diam di keleluasaan waktu yang menghimpit.
Ombak yang menyapu pantai.
Pantai yang tertelungkup di roman wajahmu, wahai sang penguasa rinduku.
Getar selalu mengayuh gejolak di keremangan cahaya kotamu nan bisu
Di sini aku berdiri,sebagai sepasukan pengawal mu yang setia
Redam kanlah batinku yang hampa

Rasa rasanya pagi adalah suatu siksa
Mengapa di sinarkan mentari di buku buku hatiku yang kelam
Sedang aku masih ingin lelap
Tebius aroma tubuh yang kian hari semakin ku kenal , menggpa kini terbang?
Duhai rama dan shinta , ceritakanlah padaku
Mengapa kalian dulu menyinta

Hitam dan putih selalu saja saling mengisi
Kotak kotak di seluruh sisi
Dan pantai selalu juga melambai
Merasuklah disini,di tepian lovina aku menanti.
Sekuntum kamboja di sisi telingaku , mengecupmu perlahan lahan.

Pantaimu , Lovina
Abadilah di sepanjang tepianmu, bayangku !




Sunday, December 21, 2003

EmbUn pERak

Lorong lorong telah sepi malam ini
Lirih merdu nyanyian jangkrik mengiringi
Percakapan kita kali ini
Pajang tak berbatas
Makna makna kehidupan , kata kata bernas
Pun celoteh tak berujung pangkal
Apakah ini sebuah awal ?

Jika demikian ,telah teregang panah api
di tanganmu
Lepaskanlah selagi aku mampu
menangkap isyarat itu
Dan sebelum panas matahari menjebak kita
di kebisingan kota

Mengapa aku merasa di segarkan oleh
Tetes tetes embun berwarna perak
Mengalir dari segala bijak kata katamu
Dan sentuh lembutmu redakan galau
Pada malam yang terus saja larut

Ku tepis sejuta tanya pada hati yang bimbang
Inikah sekumpulan awan yang menyesatkan
perjalanan burung di angkasa raya
Ataukah lebih daripada sebutir obat penghilang rasa sakit
Di demamku yang berkepanjangan

Embun perak , kunamakan kau Embun perak
Yang oleh sinarmu aku di silaukan
Bukan oleh perangkap
Tapi mata batin yang mengharap

Di hati ini , yang kumau, kau selalu ada
Entah berupa apa
Karena perih ini tak ingin kunikmati lagi

21 des 03

MATIKU

Hijau pupus berpendar terangi bilik ku suatu pagi
Remang cahaya itu masih disini
Tersusun jemariku panjatkan seuntai harap
PadaMu , wahai pemilik segala nafas

Andaikata sekujur diri ini telah kaku
oleh berlalunya waktu
sedang diri penuh debu
melekat erat bagai ratusan lebah
menyengat.
Sedang diri terbelenggu
Di rantai dosa yang terus berputar
Terpuruk di gundukan bukit tanpa pengharapan

Bergelimpangan meronta jiwaku di hadapanMU
Seperti iblis di bakar suci ayat ,aku runtuh harga diri

Sujudku di hamparan sajadah biru
Akankah luruhkan satu persatu gumpalan dosa itu

Tuhanku, jika aku pulang terlalu dini
Ini sesuai kehendakMu
Maka padangkanlah jalan lapang
Tertatih tatih aku menghampiriMu
Berbekal apa adanya yang ku punya

Tuhanku, jika benar telah dekat waktunya
Aturlah semua yang akan terjadi
Menjadi indah di mataMu
Jangan ada air mata , memerciki batu nisanku nanti
Lebih baik berbenah diri, karena waktu
hanyalah Engkau yang Tahu

Bila saja
Di pinggiran malam malam yang
teduh penuh bintang bintang
Aku pergi
Tinggalkan segala sakit
Tinggalkan segala beban
Orang orang tersayang
Orang orang tercinta
Maka malam itu lah malam terpanjang , malam terindah……………….

21 des 03





KABUT UNGU

Di puncak bukit terjal ini aku menghitung
detik demi detik
waktu yang terus merambat
saling berpacu dengan seribu satu
gelombang maya yang terus saja ku pertahankan
Ya Tuhan , beri aku pengertian
Bahwa segala yang berlalu telah berlalu
Bahwa segala yang berakhir telah berakhir
Menjadi segumpal kabut ungu yang bersemayam disudut kalbu

Jauh di pelosok pelataran hutan cemara ini
Aku memunguti
Sisa remah remah roti yang terjatuh
Saat kita memakannya kemarin lusa
Tapi hatiku berdoa , ya Tuhan kenyangkanlah aku
Dengan roti yang lainnya

Di balik bukit ini aku membelai angin
Yang terus saja kuandaikan sebagai bayangnya
Mengapa batinku terus meratap,Tuhan
Sedang aku sadar ini semu

Di ceruk ceruk jurang yang terdalam
Aku masih terperosok , meski sejuta tangan malaikat
Terjulur padaku
Ya Tuhan ,buatlah aku mengerti
Bahwa tangan tangan itu kini terulur buatku
Bahwa masih ada satu lagi pelukan disana
Mendekap dan menepis segala perih

Di kedalaman mata batinku sendiri
Aku melihat sepi masih merenggutku dari
Dunia raya ini
Bermacam macam resah pada mimpi mimpi yang hilang
Sekawanan sedih yang terus saja merongrong
Jiwa yang terus menerus merintih
Betapa aku bosan dengan ini semua , Tuhanku

Maka tanganku sekali lagi kutengadahkan
Kupinta kabut ungu ini pergi dan berlalu
Jauh

21 des 03



Saturday, December 20, 2003

Kepada Denok

Salah apa ibumu mengandung , Denok
Hingga kau rebahkan kepalamu pada si Utik
Setelah kau patah hati dengan si Dulah

“semua cinta telah mati , keluhmu suatu hari
semua laki laki sama , pengkhianat , bajingan “
maka kau luruh di dekapan Utik yang berdada tipis

matahari telah muram bagimu
lalu datanglah rembulan malam
mulai berpendar asing di celah sisa batinmu
yang nyaris koyak
remuk terpuruk
di cinta pertama

dadamu yang terus berguncang oleh tangismu
Utik lah yang menenangkan
Dan bagai kafilah kehausan di padang gersang
Kau teguk air itu tanpa tawar menawar

Duniamu yang asing , penuh tanda tanya
Segala jadi biasa karena terpaksa , mula mula
Telah kau lupa kan norma ,juga agama.

Denok, denok
Si Utik memang tampan , tapi dia juga perempuan
Si Utik memang setia, tapi apakah batinmu bahagia?
Kesinilah sayang , ketahuilah tak semua laki laki
buaya.

Siapa dapat membalut lukamu selain dirimu sendiri
Mungkin waktu akan menguburkan kenangan perih
Dan menggantinya dengan lembaran yang baru
Percayalah………………

Des 2003

HITAM PUTIH

Rebahkanlah setiap pendar kekecewaan itu
Dibahuku , kekasihku
Maka akan ku lerai satu demi satu batinmu yang
Terus meninju ninju ketidakmampuanmu
Menjembatani perbedaan ini

Lihatlah kekasih, di ujung pelangi masih tersisa
dua warna yang tak pernah nampak oleh ibu bidadari
hitam dan putih .
akankah kita meleburnya menjadi satu ?
kau selalu bilang kau adalah putih itu
dan aku pun tak mau jadi hitam
Jadi sebaiknya kita lekas berjalan
Sebelum kita menjadi belang belang
Atau biarkan diri kita tetap merasa
Hitam atau putih
Dan leburkanlah menjadi satu , abu abu!

Sandarkanlah setiap keping hatimu yang mulai ragu
Ini bukan jalan buntu , kekasihku
Simpan dalam dalam tanya itu
Aku tak akan pernah menjawabnya
Biarkan setiap hitam atau putih milik kita memurnikan warnanya
Dan muncul di kemudian hari sebagai ujung pelangi

15 Desember 2003 ,buat Rina

Thursday, December 18, 2003

Mawar Kuning II

Semalam kau ada di sini , tebarkan lagi keharuman
sepucuk mawar kuning yang hampir mati.
Kuncup kuncup layu merekah sesaat , terimakasih .
Seperti haus yang di kenyangkan oleh seteguk air .
Wajahku merona semu, hatiku tetap biru
tatkala hadirmu hanya karena sekedar nafsu yang melintas.
Seperti puting beliung melanda sisi bumi yang tlah sepi .
Porak poranda kembali setelah hampir tertata rapi .
Dan kau kembali pulang , saat aku meradang .
Tangkaplah sejuta kunang kunang yang berpendar di sekeliling matamu .
Genggamlah menjadi penerang di perjalanan panjang .
Aku masih akan menjadi sebatang buluh , yang
terus menerus melukai otakku dengan serbuk serbuk beracunku .
Gemulai angin mulai melayangkan birahimu saat binalku
ku tambatkan lagi di patok patok perkemahanmu malam ini.
Sayup menderai lenguhan , aku kebingungan , tatap matamu
bukan seperti yang dulu. Jadi ku pejamkan saja mataku ,
pura pura tak mengerti bahwa sebenarnya kau
hanya singgah, bukan kembali.
Kekasihku….andaikata kau telungkupkan
telapak tanganmu di dadaku , tentu kau akan percaya
bahwa hati ini tak akan pernah mendua .
Dan bila kau sudi menjamahnya , kau akan percaya ,
hanya ada satu nama , selamanya.
Tapi kita tak pernah sepakat , kau selalu berangkat
pada angkuhmu yang sia sia di mataku.
Jadi kututup saja lagi pintu hati ini, kunci satu satunya
kuserahkan padamu , kapan pun kau mau , bukalah .
Dan kalau aku terus menerus keliru menterjemahkan
arti sentuhanmu , biarlah .
Cukup semalam buat cinta semalam .
Esok entah kemana kau singgah. Aku pasrah.


Malam panjang,17 desember 03

MAWAR KUNING

Beri aku ruang
untuk memilah milahkan antara batas angan
dan kenyataan.Karena jika rindu yang datang
bertubi tubi sebagai sebatang gelondong jati yang
menohok ulu hati, aku terkesiap saja ,tak mampu berkata tidak.
Ketika akhirnya aku menemukan jalan untuk
tetap bisa dekat denganmu meski hatiku pilu ,ini bukan mauku.
Format harus di ubah sesuai seleramu . Strategi
di bolak balik.
Jungkir balik aku menggapaimu kembali.
Sekedar bisa merengkuhmu lagi .tak ku pedulikan
tali tali yang tersulur, riak riak yang mengental .
Tersuruk suruk aku menyimpuhkan lagi kakiku
di hadapan tahtamu. Karena rasa sayang yang
tak terbatas tepinya ini .
Bagai lesung pipit di kedua pipimu
aku lekat di ruas ruas wajahmu .

Mawar kuning dihalaman benar tlah layu ,
namun sepercik air hujan tak sengaja
menyegarkannya kembali, barang semalam.
Duri duri masih menancap di batang batang nya .
Kupu kupu masih beterbangan di sekelilingnya .
Tapi kemana perginya aura?
Mawar tak lagi punya nyawa .

Seperti cerita di sepenggal sisa malam ini.
Kita bercengkerama di ambang kesadaran , seperti biasa.
Rinduku tumpah ketika kau sediakan nampan .
Bukakan pintu barang sesaat tuk kembali singgah di tepi ranjangmu.
Katup perandaian tlah di gendang , maka aku pun segera
meloncat kedalam.
Ku benamkan kepalaku di sela sela selangkanganmu ,
meski sebenarnya aku ingin kau peluk terlebih dahulu.
Tak kah kau lihat air yang mengalir di pahamu ,
itu bukan manimu , itu air mataku ! .
Nikmatilah panas cumbuku .Ku relakan terperangkap di arena
birahi, sekedar agar aku bisa memandangmu ,
dengar desah suaramu di kedekatan rasa ini, aku rindu kembali.
Jika terbit lagi matahari di ufuk pagi , maka bangunlah ,
kembali pergi . aku mengerti.
Tapi jika malam menjelang , kegelapan menerjang,
dan kau rebah sebagai laki laki kesepian,
tataplah , di sudut keremangan aku mengharap .
Akan ku baringkan perlahan diriku
di sampingmu , karena kurasa hanya dengan inilah
aku tetap merasa dekat.
Meski maya
Beri aku ruang ,meski sempit dan gelap
Aku ingin bersemayam mencerna semua kata kata mu yang hilang.

Nicenight 17 des 03

Tuesday, December 16, 2003

Di surau itu

Suatu senja di muka surau desa
terdengar alunan nyanyian surga, mengalun
maka timbul kengerian atas segala laknat ,azab
musnahkan nikmat semu , jauh dari Mu

Alunan itu suci mendayu dayu
merdu merayu rayu , sepak segala pintu kalbu
sekian lama membeku
menusuk sanubari pertanyaan itu pada diri
akankah jalan pulang masih terbentang?

Suatu senja di halaman surau aku bediri
ragu ragu kulangkahkan kaki memasuki
hamparan nikmat yang Kau tawarkan
“ mari sini nak, mari pulang ……sebelum petang menjelang “ bisikMu perlahan
Bentangan rumahMu terasa jelas di surau suram sore ini
Ayat ayat suci meluncur kaku
Tetes tetes airmata penuh sesal ,akankah
membasuh dosa dosa yang mengental ?
Damai surau , damai di sepenggal hidup yang entah
Kapan berujung .

Di surau itu kutitipkan segulungan gelisah
Untuk di gurah
Begitu legam jalan di belakang , jadikan ku bening kembali
Meski tanpa teman , tanpa nikmat duniawi
Tetap akan kunikmati, Insya Allah

Ramadhan 2003
Shantined

IRONI ITU

Aku terguguk di rerimbunan patahan patahan ranting sisa
pembakaran semalam
Yang tak habis pungkas termakan bara api kemarahanmu pada
segala kekuranganku , libas seluruh amuk dendam bertahtakan
berbagai macam alasan sempurnakakn batas pandang , tak kabur oleh
pilar pilar yang terus menerus tegak di pelupuk matamu
Riuh rendah gelegar bayangmu bekerjaran dengan pertanyaan mengapa
harus setia sedang kaupun telah lupa siapa mencintai siapa
sulur sulur itu terus menghembuskan nafas nafas bungkahan
hatiku yang tak kunjung reda oleh gelisah. Terpukau pada buih buih
merintih , sementara pagi sebentar lagi menjelma , saksikan
sepasang batin kita merapat di dermaga terdekat
Rasakanlah betapa dulu geliat nafsumu menderu lampiaskan
rindu bak angin topan menerpa pucat wajahku. Sejuta bahana kalbu
mengguncang tanah tempat kita berdiri saling melemparkan
angkara birahi. Bulan madu yang tertunda . betapa manis reguk
cintamu meski sesaat di cekam galau , kematian segera datang ,
awal dari segala yang pergi, akhir dari segala yang datang .
Kurengkuh kemudian buaibuai itu bagai rembulan di
tengah hutan menerangi sepanjang semak semak dan jalan
setapak belukar menuju bukit. Kupulungi serpihanserpihan
serbuk wajahmu yang terserak di babatuan. Gemerlap batu koral di terpa
cahaya kemilau memantulkan seribu sayap malaikat yang
beterbangan di sekitar kita. Pagar pagar bergemerincing
saat harum tubuhmu melewatinya. Ketika kucoba buka mata,
kau ternyata telah duduk disamping tidurku , mengelus
kedua buah dada kekecewaanku pada tatapmu yang palsu .
kubalikkkan kata kata yang tersembunyi di bawah kelepak angin,
kau masih di situ, dan menulikan telingamu . juga ketika
kau raba paha paha , kau tertawa. Aku tertunduk malu ,
ternyata kau datang hanya untuk membuatku kian bernafsu.
Kita bertarung di kerinduan yang memuncak , semprotkanlah
tetes tetes air manimu pada wajahku yang makin pias
di terkam kepuasan yang tak terkatakan. Dan tebarkanlah
bias pesonamu sekarang juga agar aku tertidur saat kakimu
melangkah pergi.
Meninggalkanku begitu saja di sudut perempatan jalan .
Oranglalu lalang tanpa sudi beriba padaku yang masih telanjang.
Terseret seret langkahku kembali menuju hutan batinku
yang terdahulu. Hitam dan kusam , berdebu.
Tengoklah betapa mendayunya seruling gembala
memenjarakan suasana hatinya yang turut terluka oleh
kepergianmu. Larva larva menjelma dari belatung di permukaan
hatiku yang tak lagi biru. Membusuk tebarkan bau.
Terimakasih atas segala kenangan itu, Sorga terdekat
yang akan menjadi tempat persinggahanmu ,
semoga sampaikan salamku. Aku takingin kita saling melukai .
16des2003


Lelah Aku

Hari telah sepi
Hening senyap telan rembulan
Galau itu belum pulang
Masih teronggok di sudut sudut hati yang muram

Lelah aku menggantang asap ini
Lebih baik kupunguti kepingan wajahmu satu persatu
Sambil bersenandung berharap hujan tak jadi turun

Lalu guntur datang
Resah masih disini

Angin topan menerpa
Senandungku hilang begitu saja

Lelah aku menghitung tetes hujan
Lebih baik aku berteduh di lautmu yang angkuh
Sambil bertanya kemana mimpi berlabuh

Hari bertambah sunyi
aku berdua saja dengan sepotong lukisanmu
yang tak kunjung kuselesaikan
karena dirimu terburu pulang


shantined , 15 des2003

BAYANG BUSUK

Tunjukanlah dimana arah persembunyian
jika kerinduan itu datang menyergap tiba tiba
Aku selalu lengah
hilang arah
bahkan seringkali justru ku peluk
bayangmu yang mulai membusuk

Rekah merekah bayang bayang itu
seribu ulat dan cacing tanah
saling berebut sisa daging di bayangmu
Dan aku hanya termangu
berharap mimpi segera pergi
Ini mimpi ? selalu tanyaku

Mengapa kau letakkan jasadmu yang membusuk
Tepat di depan hidungku
Tentu saja aku tak bisa mengelak atau berpindah tempat
Terus saja menciumi bau busukmu
Lalu katakanlah dimana aku bisa bersembunyi?

Pergilah sebagai Zombie
Atau Lazarus yang dibangkitkan dari mati
Jangan lagi menyamar sebagai malaikat !
Aku disini
masih mencari tempat aman untuk
bersembunyi.

Desember 2003

Rasanya Baru Kemarin

Rasanya baru kemarin kau tiupkan
ruh ruh rindu itu di jiwaku yang beku
lumer di kehangatan yang dewasa
mewangi sejuta bunga di taman yang semula gersang
bagai embun ,sejuk tetesan kata katamu di
keremangan subuh , ajak mendekatkan diri pada
yang empunya nyawa.
Bait demi bait petuahmu penuh makna
Tak ada ragu aku mematuhimu
Selagi kau di sisiku , semua merona , penuh warna

Rasanya baru kemarin aku menjumpaimu untuk kali pertama
Tak kusangka itulah yang terakhir juga
Setelah aku mabuk oleh sentuhanmu
Dan tergila gila dengan teduh tatapanmu
Aku terperdaya di segala lapang jiwamu
Tergolek tak berdaya oleh bius pesonamu.
Mengapa kini sirna?

Rasanya aku tak mungkin paham dengan
segala alasan yang coba kau sampaikan
sakit ini mengalahkan paradigma mu
Luka ini tak mungkin kau mengerti .
Kau tetap tersenyum , kala ku mengaduh

lalu kemana lagi aku pergi membawa perih ini
acuhmu kini , begitu menjeratku
resahku makin membuncah oleh
diammu .

rasanya baru kemarin kau buat puisi tiga kata
sekarang mengingkarinya
apalagi akan yang kau rangkai untuk redakan
cintaku .

Rasanya memang kau di cipta untuk
batinku yang selalu mengembara
kini ketahuilah , tak akan selesai aku mengagumimu
tak akan menepi bidukku , berenang di telagamu
tak akan benci , apalagi dendam
meski telah kau siksa aku hingga matiku

16 des 03

Bukan ruang kita

Di satu ruang yang bukan milik kita
Telah terjebak satu babak yang juga mestinya bukan milik kita
Tapi kita tertawa , menjalani kebinatangan ini
Meski seperuh hati kita waswas dan merintih sakit
Dan mata kita tetap jalang menyapa orang yang kita khianati
Meski kadang tertunduk malu tebebat rasa bersalah
Tapi kita tetap tertawa…..
Terbahak bahak
Terpingkal pingkal

Justru saat lidahku mulai menjilati sekujur tubuhmu yang mengejang
Aku pingsan
Dan saat tanganmu yang nakal merambah lekukan tubuhku
Kau sakau

Di satu ruang yang bukan milik kita
Kita sadar , bukan ini yang kita inginkan
Tawa kita hambar
Senyum kita palsu
Itu adalah penjelmaan tangis yang kini mulai
memekakkkan telingaku.
Maka dengan senang hati kita melangkah keluar dan pergi
Tak usah kembali.


Desember 15 , 2003

OH

Kulantunkan lagi nyanyian sendu
Rindu
Merdu
Sambil kudekap sepenggal gambarmu

Oh, di keheningan yang mana lagi aku mesti
Menyepi
Setelah hatiku pun beku

Aku merangkai lagi kata kata
Sedih
Iris
Setiap lempengan suaramu yang menggema
di gendang telingaku

Oh, di keremangan mana lagi aku mesti
sembunyi
setelah matakupun buta

Aku menggumamkan pesan terkhirmu
Jaga bait ketiga
Lega kurasa
Sambil kukira kaupun menjaganya

Oh, pada langit sebelah mana lagi aku mesti
percaya
setelah senyumkupun layu

Ku rajah rajahkan namamu di sekujur tubuhku
nikmat
lunglai
dicekam derai tawamu saatku sekarat

Oh, kau yang tak pernah rasakan
mati rasa
aku berharap suatu saat
kau tahu , bahwa cinta ini
kubawa mati .

16 des 03

Sunday, December 14, 2003

SEPANJANG RIUH TAWAMU

Sebaiknya tak usah kau bentang bentangkan kain itu di hadapanku
percuma saja
telah lusuh oleh waktu dan kejaran rasa sesal
hingga tak sisakan ruang tuk : berkaca
lebih baik kurungkan saja pada kepalamu yang selalu saja bertanya
ada apa di kerumunan kecewa ini

Kerahkanlah pasukan berani matimu
melawan sejumput kerinduan yang menyergapmu tiba tiba
di pagi hari
Danjika kembali datang di malam hari, rasakanlah
bahwa aku di ujung sanapun merasakannya
bunuhlah jika kau mau
atau kau piara di kandang pengab berdebu

Di sepanjang riuh tawamu akuapun tahu kau merinduku
meski selalu kau belenggu dalam keranjang keranjang
suci di tengah senyap batinmu

kerahkanlah seluruh tenagamu tuk campakkan bayangku
maka aku akan datang mengendap sebagai
secawan anggur
atau seplastik sabu sabu
meski sebenarnya aku ingin datang sebagai sebatang
ardath merah yang sepanjang hari kau hisap di sudut bibirmu
Memabukkanmu barang sesaat , lalu kau tinggalkan
kala kau terjkaga. Untuk kembali kau rengkuh saat kau jenuh
dengan segala keriuhan tawamu sendiri

Di riuh tawamau bisakah kau mendengar
semilir angin mendesir di belakang telingamu
selalu teriakkan namamu di tenggorokannya yang tlah
tersumbat oleh biusmu

Kuminta sedikitlah picingkan mata
di lantai tergenang darah karena siapa
di pohon ngarai ruh melayang terburai serat seratnya
di libas siapa

des,10,03 ,shantined

Gelandangan di sudut taman

Adakah lagi kata kata untuk ungkapkan perasaan
Selain gigil , selain bibir yang membiru
Ketika hujan besar lewat diatas langit
Basah , resah ,gelisah ,muntah
Dan panas yang terik mengeringkan semua mimpi di siang hari
Hingga terbakar ,tak mampu berkelakar
Orang lalu lalang cibirkan bibir mereka yang runcing
Lalu terbahak nikmati kelebihan mereka sendiri sendiri
Alangkah sombongnya setiap pohon yang berdiri tegak
………sebelum roboh.

Adakah lagi genangan air untuk berkaca
Hari ini makan apa?
Atau daun apa untuk alas tidur?
Sendiri , sunyi , di tengah gaduhnya kota
Orang lalu lalang sembunyikan tangan mereka
..yang penuh makanan.
Lalu laparku di kemanakan?
Tangan aku tak punya , kaki buntung
Mulutku menganga , masih ucapkan doa doa
……….sambil tadahkan ke langit , berharap hujan malam ini
mengenyangkan perutku.

Masih di sudut taman yang ampun ampun joroknya
Lalat dan kecoak disini rumahnya
Aku kedinginan dan kepanasan , bergantian
Kubaringkan badan , meringkuk menghindari tatapan
….seorang bocah 5 thn yang mengulurkan sebatang permen cup acup
Alangkah mulianya hati anak anak di banding orang tua

Aku gelandangan tua tak berdaya di sudut taman kota
Ada di mana mana , semua kota
Bagian hidup yang mana yang harus di singkirkan?
Ini ada !
Aku hidup !



By : Shantined
Balikpapan , 6 des 03

PUSARA BATIN

Aku ingin berlari saja menuju sepi
merenung di sepanjang tepinya,diterpa angin danau dan
kelepak sayap terluka

langit mendung gelap tak karuan
bertaburan kilat bersahut sahutan dengan : rintihan jiwaku
meneteskan hujan deras, banjir bandang, tanggul jebol
mayat bergelimpangan , amis ,busuk !!

Masih saja kuterdiam kala
kau terkam lukaku membiru.
Lantunkan puji pujian bagi jiwamu yang agung
Bertahta penuh kemuliaan di atas pusara batinku yang remuk
Dan senyummu penuh kemenangan bagai
sebusur panah menembus
segala batas hatiku yang lusuh
tetaplah bertahta hingga awan menutupimu perlahan

sayup kudengar gema suaramu berbincang pada ruhku yang rindu
sampaikan berbagai alasan mengapa kau tikam
sekuntum jantung yang selalu berdegup kencang
saat namamu terucap lirih

Dalam diam aku selalu ingin beranjak pergi tinggalkan saja namamu terpatri di lorong lorong nadiku
tapi tetap saja tak ada celah tuk aku berhenti kejar bayangmu
lelah dan letih tentu saja takkurasa
hanya rebah yang akhiri perjalanan ini
tak ada arti , akhirnya

aku ingin berlari saja , bersandar pada : sepi
jauh dari keramaian
bercumbu hanya dengan rembulan
dan gelisah nikmati pusara pusara nurani yang mati !

kelepak sayap burung terluka masih ada disana
menunggu seseorang menjamah atau menginjaknya !
sekali lagi

des,03 ,shantined


Panji Patah

Dari tepian pantai ini kuhamparkan kembali
halaman demi halaman potret sejarah kita
yang luntur
panji panji yang patah
rindu yang menderu
kala itu

pada laut biru kutemukan kembali teduh matamu
bersemayam dingin mendekap erat kelopak
matamu yang membiru

Butir butir pasir terlihat halus namun sangat kasar
mengandung milyaran denting denting nada jiwamu yang agung
Disitu terpahat panji panji yang patah
terbelah oleh angin semilir saja
berceceran serbuknya
hitam dia tas luka luka menganga

pada mulanya pantai begitu merindukan namamu
ditorehkan diatas putih pasirnya
atau di pahatkan di bebatuan
atau sekedar di teriakkan lantang lantang

kini mulutku bungkam
jemariku kaku
hatiku bisu
panji patah itu begitu membelengguku


nov 03
shantined