Friday, April 09, 2004

TERATAI LIAR

Aku rindu bunga yang tumbuh dari matamu
teratai liar yang mengapung di telagamu, biru
Menjulur penuh makna , menohokku dengan caramu sendiri
tatap yang tak asing
saat kali pertama berjumpa

Dan denting denting nadamu terus mengalir
membasahi mimpiku
Bahkan telah robek keperawananku
oleh ketukan ketukan jemarimu di tuts itu
yang melebur semua imajinasi tentang kesunyian yang terperangkap
dilautan gundah depan rumahmu

Aku begitu rindu bunga yang tumbuh dari matamu
mengajakku bicara sepanjang malam
saat debur ombak menulikan telinga kita
Bisikkanlah ceritamu tentang melodi yang tela menghukummu
menjadi hambanya sepanjang jaman
tak berkesudahan
Agar bila saatku terbangun disuatu pagi
kupunguti ceceran bayangmu yang masih tersisa
melekat di dinding dinding lantai kamarku

Karena aku melihat engkau datang sebagai pahlawan
Sepucuk senapan adalah denting dawai gitarmu
Sebusur anak panah adalah tiupan terompetmu
Laras panjang yang kau panggul adalah alunan
Barisan pasukan berkuda ada dibawah kemudi tanganmu
Mengendalikan sejuta nada penuh harmoni
Syahdu……
Sejenak kupeluk kibar semangatmu yang menggelegar
penuhi langit , cakrawala persada

Tapi aku hanya merindukan bunga yang tumbuh dari matamu
Teratai liar yang mengapung ditelaga birumu
Jika kau ijinkan , akan kupetik saat ku tercebur suatu kali.


BELENGGU

Rupanya malam telah membelengguku
Dengan rantai rantai besi, sandera berupa rupa kerinduanku
Pada ilalang dihutan , pada kupu kupu dipadang
Aku tak bisa terbang, sayapku patah dan tumpang tindih
Dengan mayat mayat binatang
Sedang aku ingin pulang

Petak petak penjara ini tela kuanggap peseban
Dengan ruing ruing tawar berkumandang pekakkan telinga
Aku telah menganggapnya sebagai untaian nada
Meski terjerat aku didalam erangnya , mengiris urat urat nadiku
Menyemburkan darah disekaratku yang bisu
Biarlah.

Mahajana dikepalaku telah mengukir namamu
Tingkap tingkap langit menyambut hadirmu penuh tabir
Dan aku tetap terbelenggu
Merayakan bulan si pecundang disangkarku
Dan kubiarkan malam terus saja bersekongkol dengan rinai hujan
Menghukumku dengan cambuk dan dingin yang menancap di tulang
Sedang aku ingin pulang
Meratap ingin pulang
Meski ku tahu aku tak sedang bepergian.