Semangkuk kuah tubuhmu tertumpah lagi sore itu
Dan daging semburat di lengangnya
Tak ada aduh, tak ada erang
Hati telah matang terpanggang, rasa telah luruh dipelataran
Dingin dan endap
Tak ada kesumat
Lalu apa yang membuat senyummu mengembang
Jika sepoi angin tak lagi datang
Jika derit pintu telah menjebakmu
Dengan bermacam macam gelap
Jika elang telah mematuk sirna semua bangkai mimpimu
Jika embun tak lagi dingin
Lalu apa?
Apakah seribu bulan yang kau simpan dibenakmu
Telah padam ?
Tidak , jawabmu
Lalu apa?
Debu ditubuhmu bertutur
Tentang jalan panjang , penuh kelok dan curam
Telah membuatmu patung batu
Tapi kau tetap menari
Tertawa
Bersama magma dan luap bara
Aku jadi mengerti kini
Kramadangsa* telah menyatu di jiwamu
Menggulirkan tubuh tubuh baru begitu kematian menderamu+
Oh, aku mengerti sekarang
Rasa telah menjadi tiang garam bagimu
Di padang Sodom dan Gomorrah
* kramadangsa : salah satu ajaran Ki Ageng Suryo Mentraman.
Balikpapan, 24 Okt 2005
Thursday, December 22, 2005
DI KAMAR 308
( I )
Hening
Hanya lamat lamat suara lambung
Dan dzikir terselubung
Oleh amuk enzim
Yang bah di tubuhku
Ini kota asing
Kenapa musti disini?
Lalu aku teringat pulang
Betapa harum pesing anakku diranjang
Dan alangkah nikmat segala pekerjaan rumah
( II )
petang
matahari sembunyi di kolong lemari
dan bulan tiada benderang
tidurku memang lelap
tapi hati masih begadang
ceritakan padaku
dengan apakah aku akan pulang
nuju rumahMu?
( III)
kerinyit , desah, dan erangku
barangkali tertangkap kameraMu
tapi lihatlah, dengarlah
aku juga masih mengucap syukur
dibalik kemalanganku
gelimang sinar yang tumpah
saat keluar dari pintu
menyiram mukaku
menyiram sujudku
di sajadah yang kasat mata
telah kurasa duka musafir
kurasa manfaat muhabbat
dan kuamini doa sahabat
ditengah sakit
Samarinda, 11 Desember 2005
Di RS H Darjat , kamar 308
Hening
Hanya lamat lamat suara lambung
Dan dzikir terselubung
Oleh amuk enzim
Yang bah di tubuhku
Ini kota asing
Kenapa musti disini?
Lalu aku teringat pulang
Betapa harum pesing anakku diranjang
Dan alangkah nikmat segala pekerjaan rumah
( II )
petang
matahari sembunyi di kolong lemari
dan bulan tiada benderang
tidurku memang lelap
tapi hati masih begadang
ceritakan padaku
dengan apakah aku akan pulang
nuju rumahMu?
( III)
kerinyit , desah, dan erangku
barangkali tertangkap kameraMu
tapi lihatlah, dengarlah
aku juga masih mengucap syukur
dibalik kemalanganku
gelimang sinar yang tumpah
saat keluar dari pintu
menyiram mukaku
menyiram sujudku
di sajadah yang kasat mata
telah kurasa duka musafir
kurasa manfaat muhabbat
dan kuamini doa sahabat
ditengah sakit
Samarinda, 11 Desember 2005
Di RS H Darjat , kamar 308
BALAIRUNG
Masih tegak bendera ditancap disini
Dan buku nama kian penuh
Pesta yang tak kunjung usai
Riuh , tumpah segala peluh
“mumpung hari masih terang” dalihmu
ketika makanan bertaburan dimeja meja
Dan gadis gadis ayu berjejer memagarimu
Menyanyikan ribuan syair dewata
Tentu saja riang celotehmu mengubur jerit
mereka yang tertimpa panggung tempatmu berpesta
bahkan mayat demi mayat kau tendang perlahan keselokan
setelah darahnya menetes habis untuk ngaliri pembuluhmu
Di Balairung ini
Tepuk tangan terdengar olehku sebagai gelegar guntur
Dan kata katamu semakin sumbang
Ayo, cepatlah pulang
Nampaknya hari akan hujan.
Bpp. 15 desember 2005
Dan buku nama kian penuh
Pesta yang tak kunjung usai
Riuh , tumpah segala peluh
“mumpung hari masih terang” dalihmu
ketika makanan bertaburan dimeja meja
Dan gadis gadis ayu berjejer memagarimu
Menyanyikan ribuan syair dewata
Tentu saja riang celotehmu mengubur jerit
mereka yang tertimpa panggung tempatmu berpesta
bahkan mayat demi mayat kau tendang perlahan keselokan
setelah darahnya menetes habis untuk ngaliri pembuluhmu
Di Balairung ini
Tepuk tangan terdengar olehku sebagai gelegar guntur
Dan kata katamu semakin sumbang
Ayo, cepatlah pulang
Nampaknya hari akan hujan.
Bpp. 15 desember 2005
DEMONSTRAN
Carut marut itu,tuan
Segeralah dibereskan
Sebelum lukisan benar terlanjur basah diterjang hujan
Bahak bahak tuan yang tak perlu itu
Apakah setara dengan tangisan para peziarah
Disepanjang jalan pilu
Memunguti remah roti
Bercampur debu
Adakah lancang bibir kami
Sedang kelu sudah kami pagut sejak pagi
Tak jua merubah tata cara negara ini
Sebelum sore beranjak, ijinkan kami bicara sekali lagi
Kami lapar, tuan
Butuh makan
Bpp, 15 des 2005
Segeralah dibereskan
Sebelum lukisan benar terlanjur basah diterjang hujan
Bahak bahak tuan yang tak perlu itu
Apakah setara dengan tangisan para peziarah
Disepanjang jalan pilu
Memunguti remah roti
Bercampur debu
Adakah lancang bibir kami
Sedang kelu sudah kami pagut sejak pagi
Tak jua merubah tata cara negara ini
Sebelum sore beranjak, ijinkan kami bicara sekali lagi
Kami lapar, tuan
Butuh makan
Bpp, 15 des 2005
Friday, October 28, 2005
MALKA
Tak ada dermaga lagi buat kita
Semenanjung murung, palung resah, hulu rebah, muara marah
Perahu kita lontang lantung
Melaut salah, merapat susah
Angin mengoyak layar
Dayung hanyut
Batu karang menghadang
Badai menantang
Telinga tuli oleh deru ombak
Mata buta oleh kabut
Kata tumpah oleh gelombang
Masihkah ada malka ?
Setidaknya mercu suar?
Semenanjung murung, palung resah, hulu rebah, muara marah
Perahu kita lontang lantung
Melaut salah, merapat susah
Angin mengoyak layar
Dayung hanyut
Batu karang menghadang
Badai menantang
Telinga tuli oleh deru ombak
Mata buta oleh kabut
Kata tumpah oleh gelombang
Masihkah ada malka ?
Setidaknya mercu suar?
Friday, July 08, 2005
LARA DARA
Terbit dari lolong laramu, percik percik airmata
Telah bungkam mulutmu, oleh dentum dentum meriam
Dan telinga, telah kebal makian
Sedang mata telah juga buta oleh dera dan darah
Merintihlah, selagi bisa
Sekalipun senyum adalah mimpi terindah bagi hidup
yang kau rasakan terlalu panjang berbelit
“aku ingin mati saja” lirihmu berbisik
dan kulihat hatimu telah tergenang comberan
dara, laramu aku rasa
sobekan demi sobekan luka telah menganga
sundutan sundutan rokok, selomot seterika, guyuran panas air mendidih
kulit melepuh, rambut berondol, wajah lusuh,kurus tak terurus
(dan wajah majikanmu lelaki tercetak diwajah anakmu kelak)
takkah kau rasa ada seulur tangan menyambutmu
ditepi bibir jurang?
Aku merasakan sebagai dirimu
Maka tak hanya kurasakan deritamu, tapi derit lukamu
perih disekujur tubuhku
dan akan kubagikan senyumku menjadi lekuk lesung pipitmu
mengembang diwajahmu,lagi.
Dara, laramu aku rasa
Pulanglah
Negeri itu terlalu asing bagi kita
Sebelum dollar akan membunuhmu perlahan, menimbun semua mimpi
Dan jasadmu membusuk ditengah lautan darah
bpp, 8 juli 2005
Telah bungkam mulutmu, oleh dentum dentum meriam
Dan telinga, telah kebal makian
Sedang mata telah juga buta oleh dera dan darah
Merintihlah, selagi bisa
Sekalipun senyum adalah mimpi terindah bagi hidup
yang kau rasakan terlalu panjang berbelit
“aku ingin mati saja” lirihmu berbisik
dan kulihat hatimu telah tergenang comberan
dara, laramu aku rasa
sobekan demi sobekan luka telah menganga
sundutan sundutan rokok, selomot seterika, guyuran panas air mendidih
kulit melepuh, rambut berondol, wajah lusuh,kurus tak terurus
(dan wajah majikanmu lelaki tercetak diwajah anakmu kelak)
takkah kau rasa ada seulur tangan menyambutmu
ditepi bibir jurang?
Aku merasakan sebagai dirimu
Maka tak hanya kurasakan deritamu, tapi derit lukamu
perih disekujur tubuhku
dan akan kubagikan senyumku menjadi lekuk lesung pipitmu
mengembang diwajahmu,lagi.
Dara, laramu aku rasa
Pulanglah
Negeri itu terlalu asing bagi kita
Sebelum dollar akan membunuhmu perlahan, menimbun semua mimpi
Dan jasadmu membusuk ditengah lautan darah
bpp, 8 juli 2005
KADAVER
Seperti mayat mayat yang mengapung dimatamu
Renik renik sejarah luka telah melaut
Rajam untuk tatap pandang
Seperti seiris silet , di nganga pembuluh darah
Menetes netes darah ,ngalir di suaramu yang mendesah
O, alangkah tipis selaput dusta
Membungkus sajak sajak cinta merah muda
Menggenang air matamu kau tumpahkan dialtar
Mengawali doa doa panjang
(dan Tuhan tetap tak memandangmu, bisikmu)
melalui lengking , engkau lalu bercerita
seekor kupu kupu yang hinggap didadamu
telah menghisap habis sari cintamu, maka kau hidangkan padaku
: setetes madu palsu
(buatan pabrik ,katamu)
dan tubuh masih saja hidup
meski jiwamu mati
maka seperti kadaver , perjalananmu tak utuh besertaku.
Menjalar akar di sepohon ,umbimu mengenyangkan
Dan rengkuhku tiba tiba meliuk liuk diangkasa
Untuk tumbang disedekap persetubuhan pertama
Luka adalah luka
Mayat adalah mayat
Ribuan belatung kini berenang dibening manik matamu
Dan dengan desis ularmu , engkau mulai merayu
Bersama sekawanan lolong serigala dan malam yang pekat
:telah kukuburkan nama
mu!
Renik renik sejarah luka telah melaut
Rajam untuk tatap pandang
Seperti seiris silet , di nganga pembuluh darah
Menetes netes darah ,ngalir di suaramu yang mendesah
O, alangkah tipis selaput dusta
Membungkus sajak sajak cinta merah muda
Menggenang air matamu kau tumpahkan dialtar
Mengawali doa doa panjang
(dan Tuhan tetap tak memandangmu, bisikmu)
melalui lengking , engkau lalu bercerita
seekor kupu kupu yang hinggap didadamu
telah menghisap habis sari cintamu, maka kau hidangkan padaku
: setetes madu palsu
(buatan pabrik ,katamu)
dan tubuh masih saja hidup
meski jiwamu mati
maka seperti kadaver , perjalananmu tak utuh besertaku.
Menjalar akar di sepohon ,umbimu mengenyangkan
Dan rengkuhku tiba tiba meliuk liuk diangkasa
Untuk tumbang disedekap persetubuhan pertama
Luka adalah luka
Mayat adalah mayat
Ribuan belatung kini berenang dibening manik matamu
Dan dengan desis ularmu , engkau mulai merayu
Bersama sekawanan lolong serigala dan malam yang pekat
:telah kukuburkan nama
mu!
RINDU
melukis rindu disekanfas potretmu
kurasakan nisbi matamu
menyorot dari celah manik manik
menarikan rindu disepenggal lenggok bayangmu
kurasakan sublim pelukmu
menjalar dari gerak yang kaku
menyanyikan rindu disebait suaramu
kurasakan pilu
menderit dari gagu bisu lagu
bpp,juni 2005
shantined
kurasakan nisbi matamu
menyorot dari celah manik manik
menarikan rindu disepenggal lenggok bayangmu
kurasakan sublim pelukmu
menjalar dari gerak yang kaku
menyanyikan rindu disebait suaramu
kurasakan pilu
menderit dari gagu bisu lagu
bpp,juni 2005
shantined
Trilogi Pertanyaan
(I) INI SENJA?
Jika ini senja, maka tutuplah jendela
Agar aku tak masuk sebagai laron atau kupu kupu dikamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka hatimu menerima senyumku
Sekedar senyumanku.
Jika ini senja, maka jangan pamerkan keremangan
Lebih baik padamkan sekalian lampu kamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka jendela dan kau longokkan kepala
Menemukan senyumku
Jika ini senja,maka berjagalah menuju pagi
Aku menunggumu dengan seuntai senyum
Atau bila kebosanan melandaku
Maka aku kan pergi berlalu
Mei 2005
(II) MALAM
Jika ini malam, maka gemboklah benteng benteng diluar kota
Sediakan sepasukan berani matimu dengan senjata mutakhir
Mungkin aku akan tetap datang
Hanya sebagai pengelana yang hendak menumpang istirah
di sudut sudut kotamu
Jika ini malam , maka palangkanlah segenap balok kayu dipintumu
Agar aku tak lagi menerjang mimpi
Bpp, mey 2005
(III) JIKA TIDAK
Bosankah kau dengan keterpisahan ini?
Kalau begitu, lebarkanlah sayapmu, datanglah padaku
Kita akan kawin di negara angin
Sedihkah kau dengan jarak ini?
Maka terjanglah ruang, halaulah kabut
Dan kita tetap akan satu selimut
Diatas gundukan bola bola salju
Pernahkah kau membayangkanku pergi?
Maka dekaplah dadaku, menyusulah padaku
Lalu engkaulah anak, aku ibu
Tak terpisah hingga ujung waktu.
Jika tidak,
Jangan pernah curiga,syak prasngka,mengeluh,mencaci,memaki
Karena jarak ini tidak akan berani
menundukkan cinta
bpp, Juli 2005
Jika ini senja, maka tutuplah jendela
Agar aku tak masuk sebagai laron atau kupu kupu dikamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka hatimu menerima senyumku
Sekedar senyumanku.
Jika ini senja, maka jangan pamerkan keremangan
Lebih baik padamkan sekalian lampu kamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka jendela dan kau longokkan kepala
Menemukan senyumku
Jika ini senja,maka berjagalah menuju pagi
Aku menunggumu dengan seuntai senyum
Atau bila kebosanan melandaku
Maka aku kan pergi berlalu
Mei 2005
(II) MALAM
Jika ini malam, maka gemboklah benteng benteng diluar kota
Sediakan sepasukan berani matimu dengan senjata mutakhir
Mungkin aku akan tetap datang
Hanya sebagai pengelana yang hendak menumpang istirah
di sudut sudut kotamu
Jika ini malam , maka palangkanlah segenap balok kayu dipintumu
Agar aku tak lagi menerjang mimpi
Bpp, mey 2005
(III) JIKA TIDAK
Bosankah kau dengan keterpisahan ini?
Kalau begitu, lebarkanlah sayapmu, datanglah padaku
Kita akan kawin di negara angin
Sedihkah kau dengan jarak ini?
Maka terjanglah ruang, halaulah kabut
Dan kita tetap akan satu selimut
Diatas gundukan bola bola salju
Pernahkah kau membayangkanku pergi?
Maka dekaplah dadaku, menyusulah padaku
Lalu engkaulah anak, aku ibu
Tak terpisah hingga ujung waktu.
Jika tidak,
Jangan pernah curiga,syak prasngka,mengeluh,mencaci,memaki
Karena jarak ini tidak akan berani
menundukkan cinta
bpp, Juli 2005
NELAYAN
Senja senja mati menelikung biduk biduk
Ombak ombak laut tak ikut mati tertelan bah
Bahkan terus saja menghanyutkan sampah sampah
Ribuan bangkai hewan,dan potongan potongan mayat
Ke kaki langit yang nampak semakin ganas melahap
Amuk laut melipat lipat nyali
Ikan kegirangan
Karang kedinginan
Mercu suar melengking lengkingkan sinarnya
Berpendar pendar , berpacu dengan kabut dan badai laut
Senja tampak malam
Dengan topan yang riuh menghantam dinding dinding awan
Turun juga : hujan
Jadi kuputuskan untuk pulang
Dengan jala dan bubu kosong di tangan
2004 shantined
Ombak ombak laut tak ikut mati tertelan bah
Bahkan terus saja menghanyutkan sampah sampah
Ribuan bangkai hewan,dan potongan potongan mayat
Ke kaki langit yang nampak semakin ganas melahap
Amuk laut melipat lipat nyali
Ikan kegirangan
Karang kedinginan
Mercu suar melengking lengkingkan sinarnya
Berpendar pendar , berpacu dengan kabut dan badai laut
Senja tampak malam
Dengan topan yang riuh menghantam dinding dinding awan
Turun juga : hujan
Jadi kuputuskan untuk pulang
Dengan jala dan bubu kosong di tangan
2004 shantined
Monday, May 02, 2005
FIRASAT
Langit masih sepi . Tanpa awan dan rembulan. Tanpa bintang,kunang kunang. Hanya gelap teduh memburam. Remang remang. Sepi, benar benar sunyi. Alam yang tertidur.
Sayu dan lemang. Keriyap meretas dari gaduh siang. Ini malam.
Telah ribuan kali kusebut nama kekasihku. Dalam lagu, dalam lirih bisik, dalam buai angan, dalam timang mimpi, dalam kenyataan. Betapa merdu yang kurasakan semakin absurd. Semakin pupus dalam bayang gelap entah darimana berasal. Seperti serombongan gagak yang tiba tiba datang mematuki bangkai. Berkoak koak memenuhi angkasa raya . Merayakan hari kematian yang menusukan aroma luka.
Ya, telah kucium aroma luka itu setiap kutatap matamu. Luka yang akan menyeretku dalam jurang teramat dalam.
Mungkin tak pernah kau sadari, dan bahkan tak akan kau mengerti. Firasatku sedemikian tajam. Mengupas segala keinginan untuk terus menyebut namamu.
Ya Tuhan, demi apapun aku tak ingin ini terjadi.
Disaat darahmu telah menyatu di darahku, namamu telah berkelana di namaku, dan denyut nadimu mengalir di nadiku.
Disaat kerinduan menjadi seujung tombak bagi pertemuan demi pertemuan. Ketika gelora asmara menenggelamkan semua perahu , membuihkan ombak surga. Ketika airmata menjadi kristal dibening mataku saat rindu meluap luap.
Oh kekasihku, langit makin sepi, makin sunyi. Malam berderit derit. Menyeret bayangan demi bayangan yang manis tersimpan.
Amuk kita yang pertama di sebuah altar penuh bunga, lalu kedua ditepi telaga,ketiga dikota tempat engkau mengenal cinta, keempat , kelima, keseratus, keribu,kesejuta….dan kini hanya kudapati sebuah penjara. Jeruji jeruji tajam yang siap mengurungku. Dan kau tetap menari diujung sana. Bersama dewi yang kau idam idamkan.Sungguh inikah akhir dari perjalanan kita?
Terlalu singkat . Terlalu manis. Terlalu cinta. Terlalu sayang.Terlalu mesra. Terlalu cemburu. Terlalu pahit. Terlalu getir. Terlalu gelap. Terlalu sakit. Terlalu darah. Terlalu mati.
Sedang cinta ini tanpa sekat dinding. Tanpa batas . Tanpa akal aku mengikuti alurnya. Menabrak segala puing. Melabrak segala jeram. Segala rupa warna telah kuramu sedemikian eloknya untuk menuliskan namamu dibuku hidupku. Segala wangi kembang telah kurangkai untuk menghirup harummu. Segala denting nada telah kugubah untuk menyebut merdu namamu.
Dan segala yang ada itu kini pupus satu persatu. Tanpa angin, tanpa badai.
Pupus begitu saja.
Mawar yang layu melepaskan kelopak kelopaknya, sebelum musim serangga memakan habis tangkai dan seluruh bunga.
Musim cinta kita telah landas, kekasihku. Terasakah olehmu isak tangisku yang paling menyayat ketika kau sentuh tangannya? Dan jerit batinku yang luka menganga ketika dihadapanku kau membujuk rayunya?
Inilah jurang . Inilah prahara. Inilah petaka.
Entah sehabis ini aku menuju mana.
Setelah laut yang teduh kau janjikan mendeburkan badai.
Sungai yang tenang kau tawarkan menghanyutkan bangkai bangkai binatang.
Langit yang biru kau mimpikan penuh dengan kaok gagak pemangsa tubuhku.
Hendak kemanakah aku?
Berlayarkah aku menuju pulau sunyi ,sendiri membawa batu batu dibahuku?
Atau kurasa lebih baik aku tenggelam disini , di danau buaya yang amis dan berular naga.
Duhai kekasihku, untuk sekali ini saja.
Dapatkah kau bayangkan betapa merah marun itu menjadi ungu tua. Penuh bercak darah.
Oleh sembelihmu aku akan mati perlahan lahan. Meneteskan tak saja airmata duka, tapi lelehan air kematian yang sayup akan memenuhi peta perjalananku.
Entah akan kulanjutkan atau tidak hidup ini. Karena jantungku telah tak berdetak lagi.
Nadiku beku. Ruhku pergi.
Dan malam bertambah senyap. Gerimis merinai .
Dingin menghebat.
Yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan lagu kematian melengking lengking dari kamarku yang semakin pengab menguburku dalam asap.
Sayu dan lemang. Keriyap meretas dari gaduh siang. Ini malam.
Telah ribuan kali kusebut nama kekasihku. Dalam lagu, dalam lirih bisik, dalam buai angan, dalam timang mimpi, dalam kenyataan. Betapa merdu yang kurasakan semakin absurd. Semakin pupus dalam bayang gelap entah darimana berasal. Seperti serombongan gagak yang tiba tiba datang mematuki bangkai. Berkoak koak memenuhi angkasa raya . Merayakan hari kematian yang menusukan aroma luka.
Ya, telah kucium aroma luka itu setiap kutatap matamu. Luka yang akan menyeretku dalam jurang teramat dalam.
Mungkin tak pernah kau sadari, dan bahkan tak akan kau mengerti. Firasatku sedemikian tajam. Mengupas segala keinginan untuk terus menyebut namamu.
Ya Tuhan, demi apapun aku tak ingin ini terjadi.
Disaat darahmu telah menyatu di darahku, namamu telah berkelana di namaku, dan denyut nadimu mengalir di nadiku.
Disaat kerinduan menjadi seujung tombak bagi pertemuan demi pertemuan. Ketika gelora asmara menenggelamkan semua perahu , membuihkan ombak surga. Ketika airmata menjadi kristal dibening mataku saat rindu meluap luap.
Oh kekasihku, langit makin sepi, makin sunyi. Malam berderit derit. Menyeret bayangan demi bayangan yang manis tersimpan.
Amuk kita yang pertama di sebuah altar penuh bunga, lalu kedua ditepi telaga,ketiga dikota tempat engkau mengenal cinta, keempat , kelima, keseratus, keribu,kesejuta….dan kini hanya kudapati sebuah penjara. Jeruji jeruji tajam yang siap mengurungku. Dan kau tetap menari diujung sana. Bersama dewi yang kau idam idamkan.Sungguh inikah akhir dari perjalanan kita?
Terlalu singkat . Terlalu manis. Terlalu cinta. Terlalu sayang.Terlalu mesra. Terlalu cemburu. Terlalu pahit. Terlalu getir. Terlalu gelap. Terlalu sakit. Terlalu darah. Terlalu mati.
Sedang cinta ini tanpa sekat dinding. Tanpa batas . Tanpa akal aku mengikuti alurnya. Menabrak segala puing. Melabrak segala jeram. Segala rupa warna telah kuramu sedemikian eloknya untuk menuliskan namamu dibuku hidupku. Segala wangi kembang telah kurangkai untuk menghirup harummu. Segala denting nada telah kugubah untuk menyebut merdu namamu.
Dan segala yang ada itu kini pupus satu persatu. Tanpa angin, tanpa badai.
Pupus begitu saja.
Mawar yang layu melepaskan kelopak kelopaknya, sebelum musim serangga memakan habis tangkai dan seluruh bunga.
Musim cinta kita telah landas, kekasihku. Terasakah olehmu isak tangisku yang paling menyayat ketika kau sentuh tangannya? Dan jerit batinku yang luka menganga ketika dihadapanku kau membujuk rayunya?
Inilah jurang . Inilah prahara. Inilah petaka.
Entah sehabis ini aku menuju mana.
Setelah laut yang teduh kau janjikan mendeburkan badai.
Sungai yang tenang kau tawarkan menghanyutkan bangkai bangkai binatang.
Langit yang biru kau mimpikan penuh dengan kaok gagak pemangsa tubuhku.
Hendak kemanakah aku?
Berlayarkah aku menuju pulau sunyi ,sendiri membawa batu batu dibahuku?
Atau kurasa lebih baik aku tenggelam disini , di danau buaya yang amis dan berular naga.
Duhai kekasihku, untuk sekali ini saja.
Dapatkah kau bayangkan betapa merah marun itu menjadi ungu tua. Penuh bercak darah.
Oleh sembelihmu aku akan mati perlahan lahan. Meneteskan tak saja airmata duka, tapi lelehan air kematian yang sayup akan memenuhi peta perjalananku.
Entah akan kulanjutkan atau tidak hidup ini. Karena jantungku telah tak berdetak lagi.
Nadiku beku. Ruhku pergi.
Dan malam bertambah senyap. Gerimis merinai .
Dingin menghebat.
Yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan lagu kematian melengking lengking dari kamarku yang semakin pengab menguburku dalam asap.
Aku Ingin
Aku ingin menyeka titiik titik rinai yang tersisa
Dari hujan cinta yang bertubi mengurung kita
Di bilik paling tersembunyi kota kita yang luka
Aku ingin menyimpun ceceran nadi yang bergetar
Pada semusim anggur percintaan kita
Di dendam sekarat jiwa kita yang terlena
Aku ingin setiap saat pulang menuju lautmu
Dermaga paling damai
Dan tak terasa asing di perjalananku yang rahasia
Aku ingin menipu kelima inderaku
Dengan mencium bayangmu
Meraba suaramu
Memandang pelukmu
Mendengar dengusmu
Mencecap nafasmu
Di perhentian yang abadi
Aku ingin menggenggam ribuan angan
Yang sejenak telah kita umbarkan
Menjadi untaian manik di leherku
Menjerat dan mencekikku
Dari hujan cinta yang bertubi mengurung kita
Di bilik paling tersembunyi kota kita yang luka
Aku ingin menyimpun ceceran nadi yang bergetar
Pada semusim anggur percintaan kita
Di dendam sekarat jiwa kita yang terlena
Aku ingin setiap saat pulang menuju lautmu
Dermaga paling damai
Dan tak terasa asing di perjalananku yang rahasia
Aku ingin menipu kelima inderaku
Dengan mencium bayangmu
Meraba suaramu
Memandang pelukmu
Mendengar dengusmu
Mencecap nafasmu
Di perhentian yang abadi
Aku ingin menggenggam ribuan angan
Yang sejenak telah kita umbarkan
Menjadi untaian manik di leherku
Menjerat dan mencekikku
Monday, April 11, 2005
Mantera Cinta
Aku bukan Shinta, kaupun bukan Rama
Kita hanya pendusta yang belajar menatap mataforgana
Menjadi nyata
Kitapun tak pernah sanggup
Membuka pasung pasung
Hanya dengan mantera cinta
Kita hanya pendusta yang belajar menatap mataforgana
Menjadi nyata
Kitapun tak pernah sanggup
Membuka pasung pasung
Hanya dengan mantera cinta
Dalam Tempurung Otakku
Kisah demi kisah yang tertempurung dalam otakku
Mengendap dan diam
Melumpur sesekali
Atau melumut kemudian
Sambil terus menampung tanpa tumpah berjuta giga memori
berbagai kisah lagi , tanpa mesti berkeluh kesah
Mengendap dan diam
Melumpur sesekali
Atau melumut kemudian
Sambil terus menampung tanpa tumpah berjuta giga memori
berbagai kisah lagi , tanpa mesti berkeluh kesah
Gelas Kopi
Gelas kopi telah kosong
dan panas matahari mengelupas mimpi
pagi berderit panjang, siang menjelang
bayangmu masih lengkap
lengket di kelambu remang mataku
yang meriap mencari cahaya
hari
gelas kopi tetap kosong
kala aku mengupas bayangmu
menjadi serpihan serpihan kecil
dan kutaburkan lagi
di mataku yang masih meriap mencari siang
hari
Kiranya kristal kopi telah tercipta
Dari panggang terik matahari yang menembus
Gelas kopiku
Dan segera aku menjumputnya, menjejalkan di mata
Yang semakin remang menatap
Bayangmu
Dan aku semakin tak mengerti
Mengapa hari hari begitu pekat
Mengopi di gelas gelas yang masih saja kosong
menggemerincing
dan panas matahari mengelupas mimpi
pagi berderit panjang, siang menjelang
bayangmu masih lengkap
lengket di kelambu remang mataku
yang meriap mencari cahaya
hari
gelas kopi tetap kosong
kala aku mengupas bayangmu
menjadi serpihan serpihan kecil
dan kutaburkan lagi
di mataku yang masih meriap mencari siang
hari
Kiranya kristal kopi telah tercipta
Dari panggang terik matahari yang menembus
Gelas kopiku
Dan segera aku menjumputnya, menjejalkan di mata
Yang semakin remang menatap
Bayangmu
Dan aku semakin tak mengerti
Mengapa hari hari begitu pekat
Mengopi di gelas gelas yang masih saja kosong
menggemerincing
Wednesday, March 23, 2005
Sajak Anak Pesut
Seekor anak pesut berenang-renang di sungai Mahakam
Ibunya hilang diterkam nelayan
“ iibu,ibu,ibu….aku rindu’
sambil menyusu pada oleng perahu.
Samarinda 2004 di muat di buku puisi
On /Off Dian Sastro For President 3
Ibunya hilang diterkam nelayan
“ iibu,ibu,ibu….aku rindu’
sambil menyusu pada oleng perahu.
Samarinda 2004 di muat di buku puisi
On /Off Dian Sastro For President 3
Ode Buat Kawan
Tetapi aku bukan embun
Malam mengendap dan siang lenyap di bakar matahari
Juga aku bukan telaga
Tempat berteduh dan melepas dahaga
Bukan juga lautan
Apalagi pelangi di awan
Karena aku hanya tepian
Antara bayang dan kenyataan
Bpp 2004 di muat di buku puisi
On/off Dian Sastro For President 3
Malam mengendap dan siang lenyap di bakar matahari
Juga aku bukan telaga
Tempat berteduh dan melepas dahaga
Bukan juga lautan
Apalagi pelangi di awan
Karena aku hanya tepian
Antara bayang dan kenyataan
Bpp 2004 di muat di buku puisi
On/off Dian Sastro For President 3
INSOMNIA
Bumi telah tertidur
Malam
Malam
Terkenang akan gambarmu
aku berbicara pada gelap
tentang rindu tak berkesudahan
Malam telah tua
Merangkak kunang kunang ke tepi rembulan
Tapi aku masih saja merasa muda
untuk mencintaimu
Tenggelam pula riuh jagat raya
Kini senyap menelan segala kelam
Tapi aku masih saja merasa berwarna
Untuk mengirimimu sejuta pesona
Aku tak bisa tidur lagi
Sibuk berdandan , merias diri
Untuk menjadi pengantin wanitamu, suatu kali
Malam
Malam
Terkenang akan gambarmu
aku berbicara pada gelap
tentang rindu tak berkesudahan
Malam telah tua
Merangkak kunang kunang ke tepi rembulan
Tapi aku masih saja merasa muda
untuk mencintaimu
Tenggelam pula riuh jagat raya
Kini senyap menelan segala kelam
Tapi aku masih saja merasa berwarna
Untuk mengirimimu sejuta pesona
Aku tak bisa tidur lagi
Sibuk berdandan , merias diri
Untuk menjadi pengantin wanitamu, suatu kali
Dadaku Penuh PAsir
Dadaku penuh dengan pasir
Berbukit bukit , berlereng lereng,
berceruk ceruk , berlembah lembah,
terjal dan curam
berbatu batu, berlumut lumut
berkarang karang, berombak ombak
tajam dan licin
dadaku sarat dengan pasir
membentuk istana
puri persemayaman raja
dan dadaku penuh dengan pasir
yang menimbun nama nama
setiap laut pasang
mengirimkan riaknya
( 22 03 05 )
Berbukit bukit , berlereng lereng,
berceruk ceruk , berlembah lembah,
terjal dan curam
berbatu batu, berlumut lumut
berkarang karang, berombak ombak
tajam dan licin
dadaku sarat dengan pasir
membentuk istana
puri persemayaman raja
dan dadaku penuh dengan pasir
yang menimbun nama nama
setiap laut pasang
mengirimkan riaknya
( 22 03 05 )
Tuesday, March 08, 2005
PELANGI
Tak ada mimpi
malamku basi
Bulan hanya setengah
dan pungguk masih terperangah
Hujan rintik
aku lupa
bahwa pelangi tak mungkin turun
di malam hari
malamku basi
Bulan hanya setengah
dan pungguk masih terperangah
Hujan rintik
aku lupa
bahwa pelangi tak mungkin turun
di malam hari
ZIARAH GITAR
Temaram kalbu
denting gitarmu
serukan rupa rupa sejarah
meliuk di pusaran arah
Pintu telah berderit
buka,tutup
tutup,buka
dan linangan air mata
memaksaku berziarah
sepanjang perjalanan kasat mata
kelok kelok nada
melenting lentingkan ingatan
kubayangkan separuh umurku di masa silam
telah terbenam di hunian syurga yang hilang
terbuat dari janji gitar tua
mendenguskan alunan syair jiwa
Sebongkah kenangan melesat
menusuk nusuk bola mataku
pecahkan gendang telinga
oleh dawai dawai
melagukan impian pengantin yang tak beranjang
Kini usai
dan kita pulang membawa penat
ke masing masing lingkaran
berputar putar mencari pintu
di tanah yang lapang
denting gitarmu
serukan rupa rupa sejarah
meliuk di pusaran arah
Pintu telah berderit
buka,tutup
tutup,buka
dan linangan air mata
memaksaku berziarah
sepanjang perjalanan kasat mata
kelok kelok nada
melenting lentingkan ingatan
kubayangkan separuh umurku di masa silam
telah terbenam di hunian syurga yang hilang
terbuat dari janji gitar tua
mendenguskan alunan syair jiwa
Sebongkah kenangan melesat
menusuk nusuk bola mataku
pecahkan gendang telinga
oleh dawai dawai
melagukan impian pengantin yang tak beranjang
Kini usai
dan kita pulang membawa penat
ke masing masing lingkaran
berputar putar mencari pintu
di tanah yang lapang
PERJALANAN
Aku belum benar benar mengerti
arah kemana,saat itu
kita berjalan
melewati malam dan sunyinya padang
mengarungi petang dan gaduhnya jeram
Ku kira kita akan berlabuh di dermaga
andai laut menanyakan tujuan
Tapi bahtera terus melaju,menderu
meninggalkan angin
dan ternyata samudera begitu besarnya
Arung kita tak ada tepi
Lima benua,ribuan selat,jutaan pulau
karang,lautan es,gelombang,badai taufan
telah lalu
dan oleh peluit panjang mercu suar,kita terhentak
kembali menghitung koordinat koordinat,menghampar peta
dan tentukan kapan,dimana hendak mendarat.
( untuk ps )
arah kemana,saat itu
kita berjalan
melewati malam dan sunyinya padang
mengarungi petang dan gaduhnya jeram
Ku kira kita akan berlabuh di dermaga
andai laut menanyakan tujuan
Tapi bahtera terus melaju,menderu
meninggalkan angin
dan ternyata samudera begitu besarnya
Arung kita tak ada tepi
Lima benua,ribuan selat,jutaan pulau
karang,lautan es,gelombang,badai taufan
telah lalu
dan oleh peluit panjang mercu suar,kita terhentak
kembali menghitung koordinat koordinat,menghampar peta
dan tentukan kapan,dimana hendak mendarat.
( untuk ps )
Subscribe to:
Posts (Atom)