Thursday, December 22, 2005

PILU

Semangkuk kuah tubuhmu tertumpah lagi sore itu
Dan daging semburat di lengangnya
Tak ada aduh, tak ada erang
Hati telah matang terpanggang, rasa telah luruh dipelataran
Dingin dan endap
Tak ada kesumat

Lalu apa yang membuat senyummu mengembang
Jika sepoi angin tak lagi datang
Jika derit pintu telah menjebakmu
Dengan bermacam macam gelap
Jika elang telah mematuk sirna semua bangkai mimpimu
Jika embun tak lagi dingin
Lalu apa?

Apakah seribu bulan yang kau simpan dibenakmu
Telah padam ?
Tidak , jawabmu
Lalu apa?

Debu ditubuhmu bertutur
Tentang jalan panjang , penuh kelok dan curam
Telah membuatmu patung batu
Tapi kau tetap menari
Tertawa
Bersama magma dan luap bara

Aku jadi mengerti kini
Kramadangsa* telah menyatu di jiwamu
Menggulirkan tubuh tubuh baru begitu kematian menderamu+
Oh, aku mengerti sekarang
Rasa telah menjadi tiang garam bagimu
Di padang Sodom dan Gomorrah

* kramadangsa : salah satu ajaran Ki Ageng Suryo Mentraman.
Balikpapan, 24 Okt 2005

DI KAMAR 308

( I )

Hening
Hanya lamat lamat suara lambung
Dan dzikir terselubung
Oleh amuk enzim
Yang bah di tubuhku

Ini kota asing
Kenapa musti disini?

Lalu aku teringat pulang
Betapa harum pesing anakku diranjang
Dan alangkah nikmat segala pekerjaan rumah

( II )

petang
matahari sembunyi di kolong lemari
dan bulan tiada benderang

tidurku memang lelap
tapi hati masih begadang

ceritakan padaku
dengan apakah aku akan pulang
nuju rumahMu?



( III)

kerinyit , desah, dan erangku
barangkali tertangkap kameraMu
tapi lihatlah, dengarlah
aku juga masih mengucap syukur
dibalik kemalanganku

gelimang sinar yang tumpah
saat keluar dari pintu
menyiram mukaku
menyiram sujudku
di sajadah yang kasat mata

telah kurasa duka musafir
kurasa manfaat muhabbat
dan kuamini doa sahabat
ditengah sakit

Samarinda, 11 Desember 2005
Di RS H Darjat , kamar 308

BALAIRUNG

Masih tegak bendera ditancap disini
Dan buku nama kian penuh
Pesta yang tak kunjung usai
Riuh , tumpah segala peluh

“mumpung hari masih terang” dalihmu
ketika makanan bertaburan dimeja meja
Dan gadis gadis ayu berjejer memagarimu
Menyanyikan ribuan syair dewata

Tentu saja riang celotehmu mengubur jerit
mereka yang tertimpa panggung tempatmu berpesta
bahkan mayat demi mayat kau tendang perlahan keselokan
setelah darahnya menetes habis untuk ngaliri pembuluhmu

Di Balairung ini
Tepuk tangan terdengar olehku sebagai gelegar guntur
Dan kata katamu semakin sumbang
Ayo, cepatlah pulang
Nampaknya hari akan hujan.


Bpp. 15 desember 2005

DEMONSTRAN

Carut marut itu,tuan
Segeralah dibereskan
Sebelum lukisan benar terlanjur basah diterjang hujan

Bahak bahak tuan yang tak perlu itu
Apakah setara dengan tangisan para peziarah
Disepanjang jalan pilu
Memunguti remah roti
Bercampur debu

Adakah lancang bibir kami
Sedang kelu sudah kami pagut sejak pagi
Tak jua merubah tata cara negara ini
Sebelum sore beranjak, ijinkan kami bicara sekali lagi

Kami lapar, tuan
Butuh makan

Bpp, 15 des 2005

Friday, October 28, 2005

MALKA

Tak ada dermaga lagi buat kita
Semenanjung murung, palung resah, hulu rebah, muara marah
Perahu kita lontang lantung
Melaut salah, merapat susah
Angin mengoyak layar
Dayung hanyut
Batu karang menghadang
Badai menantang

Telinga tuli oleh deru ombak
Mata buta oleh kabut
Kata tumpah oleh gelombang
Masihkah ada malka ?
Setidaknya mercu suar?

Friday, July 08, 2005

LARA DARA

Terbit dari lolong laramu, percik percik airmata
Telah bungkam mulutmu, oleh dentum dentum meriam
Dan telinga, telah kebal makian
Sedang mata telah juga buta oleh dera dan darah
Merintihlah, selagi bisa
Sekalipun senyum adalah mimpi terindah bagi hidup
yang kau rasakan terlalu panjang berbelit
“aku ingin mati saja” lirihmu berbisik
dan kulihat hatimu telah tergenang comberan

dara, laramu aku rasa
sobekan demi sobekan luka telah menganga
sundutan sundutan rokok, selomot seterika, guyuran panas air mendidih
kulit melepuh, rambut berondol, wajah lusuh,kurus tak terurus
(dan wajah majikanmu lelaki tercetak diwajah anakmu kelak)

takkah kau rasa ada seulur tangan menyambutmu
ditepi bibir jurang?

Aku merasakan sebagai dirimu
Maka tak hanya kurasakan deritamu, tapi derit lukamu
perih disekujur tubuhku
dan akan kubagikan senyumku menjadi lekuk lesung pipitmu
mengembang diwajahmu,lagi.

Dara, laramu aku rasa
Pulanglah
Negeri itu terlalu asing bagi kita
Sebelum dollar akan membunuhmu perlahan, menimbun semua mimpi
Dan jasadmu membusuk ditengah lautan darah

bpp, 8 juli 2005

KADAVER

Seperti mayat mayat yang mengapung dimatamu
Renik renik sejarah luka telah melaut
Rajam untuk tatap pandang
Seperti seiris silet , di nganga pembuluh darah
Menetes netes darah ,ngalir di suaramu yang mendesah
O, alangkah tipis selaput dusta
Membungkus sajak sajak cinta merah muda

Menggenang air matamu kau tumpahkan dialtar
Mengawali doa doa panjang
(dan Tuhan tetap tak memandangmu, bisikmu)
melalui lengking , engkau lalu bercerita
seekor kupu kupu yang hinggap didadamu
telah menghisap habis sari cintamu, maka kau hidangkan padaku
: setetes madu palsu
(buatan pabrik ,katamu)

dan tubuh masih saja hidup
meski jiwamu mati
maka seperti kadaver , perjalananmu tak utuh besertaku.
Menjalar akar di sepohon ,umbimu mengenyangkan
Dan rengkuhku tiba tiba meliuk liuk diangkasa
Untuk tumbang disedekap persetubuhan pertama
Luka adalah luka
Mayat adalah mayat

Ribuan belatung kini berenang dibening manik matamu
Dan dengan desis ularmu , engkau mulai merayu
Bersama sekawanan lolong serigala dan malam yang pekat
:telah kukuburkan nama
mu!

RINDU

melukis rindu disekanfas potretmu
kurasakan nisbi matamu
menyorot dari celah manik manik

menarikan rindu disepenggal lenggok bayangmu
kurasakan sublim pelukmu
menjalar dari gerak yang kaku

menyanyikan rindu disebait suaramu
kurasakan pilu
menderit dari gagu bisu lagu

bpp,juni 2005
shantined

Trilogi Pertanyaan

(I) INI SENJA?

Jika ini senja, maka tutuplah jendela
Agar aku tak masuk sebagai laron atau kupu kupu dikamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka hatimu menerima senyumku
Sekedar senyumanku.

Jika ini senja, maka jangan pamerkan keremangan
Lebih baik padamkan sekalian lampu kamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka jendela dan kau longokkan kepala
Menemukan senyumku

Jika ini senja,maka berjagalah menuju pagi
Aku menunggumu dengan seuntai senyum
Atau bila kebosanan melandaku
Maka aku kan pergi berlalu

Mei 2005

(II) MALAM
Jika ini malam, maka gemboklah benteng benteng diluar kota
Sediakan sepasukan berani matimu dengan senjata mutakhir
Mungkin aku akan tetap datang
Hanya sebagai pengelana yang hendak menumpang istirah
di sudut sudut kotamu

Jika ini malam , maka palangkanlah segenap balok kayu dipintumu
Agar aku tak lagi menerjang mimpi

Bpp, mey 2005

(III) JIKA TIDAK
Bosankah kau dengan keterpisahan ini?
Kalau begitu, lebarkanlah sayapmu, datanglah padaku
Kita akan kawin di negara angin

Sedihkah kau dengan jarak ini?
Maka terjanglah ruang, halaulah kabut
Dan kita tetap akan satu selimut
Diatas gundukan bola bola salju

Pernahkah kau membayangkanku pergi?
Maka dekaplah dadaku, menyusulah padaku
Lalu engkaulah anak, aku ibu
Tak terpisah hingga ujung waktu.

Jika tidak,
Jangan pernah curiga,syak prasngka,mengeluh,mencaci,memaki
Karena jarak ini tidak akan berani
menundukkan cinta


bpp, Juli 2005

NELAYAN

Senja senja mati menelikung biduk biduk
Ombak ombak laut tak ikut mati tertelan bah
Bahkan terus saja menghanyutkan sampah sampah
Ribuan bangkai hewan,dan potongan potongan mayat
Ke kaki langit yang nampak semakin ganas melahap

Amuk laut melipat lipat nyali
Ikan kegirangan
Karang kedinginan
Mercu suar melengking lengkingkan sinarnya
Berpendar pendar , berpacu dengan kabut dan badai laut
Senja tampak malam
Dengan topan yang riuh menghantam dinding dinding awan
Turun juga : hujan

Jadi kuputuskan untuk pulang
Dengan jala dan bubu kosong di tangan


2004 shantined

Monday, May 02, 2005

FIRASAT

Langit masih sepi . Tanpa awan dan rembulan. Tanpa bintang,kunang kunang. Hanya gelap teduh memburam. Remang remang. Sepi, benar benar sunyi. Alam yang tertidur.
Sayu dan lemang. Keriyap meretas dari gaduh siang. Ini malam.
Telah ribuan kali kusebut nama kekasihku. Dalam lagu, dalam lirih bisik, dalam buai angan, dalam timang mimpi, dalam kenyataan. Betapa merdu yang kurasakan semakin absurd. Semakin pupus dalam bayang gelap entah darimana berasal. Seperti serombongan gagak yang tiba tiba datang mematuki bangkai. Berkoak koak memenuhi angkasa raya . Merayakan hari kematian yang menusukan aroma luka.
Ya, telah kucium aroma luka itu setiap kutatap matamu. Luka yang akan menyeretku dalam jurang teramat dalam.
Mungkin tak pernah kau sadari, dan bahkan tak akan kau mengerti. Firasatku sedemikian tajam. Mengupas segala keinginan untuk terus menyebut namamu.
Ya Tuhan, demi apapun aku tak ingin ini terjadi.
Disaat darahmu telah menyatu di darahku, namamu telah berkelana di namaku, dan denyut nadimu mengalir di nadiku.
Disaat kerinduan menjadi seujung tombak bagi pertemuan demi pertemuan. Ketika gelora asmara menenggelamkan semua perahu , membuihkan ombak surga. Ketika airmata menjadi kristal dibening mataku saat rindu meluap luap.
Oh kekasihku, langit makin sepi, makin sunyi. Malam berderit derit. Menyeret bayangan demi bayangan yang manis tersimpan.
Amuk kita yang pertama di sebuah altar penuh bunga, lalu kedua ditepi telaga,ketiga dikota tempat engkau mengenal cinta, keempat , kelima, keseratus, keribu,kesejuta….dan kini hanya kudapati sebuah penjara. Jeruji jeruji tajam yang siap mengurungku. Dan kau tetap menari diujung sana. Bersama dewi yang kau idam idamkan.Sungguh inikah akhir dari perjalanan kita?
Terlalu singkat . Terlalu manis. Terlalu cinta. Terlalu sayang.Terlalu mesra. Terlalu cemburu. Terlalu pahit. Terlalu getir. Terlalu gelap. Terlalu sakit. Terlalu darah. Terlalu mati.
Sedang cinta ini tanpa sekat dinding. Tanpa batas . Tanpa akal aku mengikuti alurnya. Menabrak segala puing. Melabrak segala jeram. Segala rupa warna telah kuramu sedemikian eloknya untuk menuliskan namamu dibuku hidupku. Segala wangi kembang telah kurangkai untuk menghirup harummu. Segala denting nada telah kugubah untuk menyebut merdu namamu.
Dan segala yang ada itu kini pupus satu persatu. Tanpa angin, tanpa badai.
Pupus begitu saja.
Mawar yang layu melepaskan kelopak kelopaknya, sebelum musim serangga memakan habis tangkai dan seluruh bunga.
Musim cinta kita telah landas, kekasihku. Terasakah olehmu isak tangisku yang paling menyayat ketika kau sentuh tangannya? Dan jerit batinku yang luka menganga ketika dihadapanku kau membujuk rayunya?
Inilah jurang . Inilah prahara. Inilah petaka.
Entah sehabis ini aku menuju mana.
Setelah laut yang teduh kau janjikan mendeburkan badai.
Sungai yang tenang kau tawarkan menghanyutkan bangkai bangkai binatang.
Langit yang biru kau mimpikan penuh dengan kaok gagak pemangsa tubuhku.
Hendak kemanakah aku?
Berlayarkah aku menuju pulau sunyi ,sendiri membawa batu batu dibahuku?
Atau kurasa lebih baik aku tenggelam disini , di danau buaya yang amis dan berular naga.
Duhai kekasihku, untuk sekali ini saja.
Dapatkah kau bayangkan betapa merah marun itu menjadi ungu tua. Penuh bercak darah.
Oleh sembelihmu aku akan mati perlahan lahan. Meneteskan tak saja airmata duka, tapi lelehan air kematian yang sayup akan memenuhi peta perjalananku.
Entah akan kulanjutkan atau tidak hidup ini. Karena jantungku telah tak berdetak lagi.
Nadiku beku. Ruhku pergi.
Dan malam bertambah senyap. Gerimis merinai .
Dingin menghebat.
Yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan lagu kematian melengking lengking dari kamarku yang semakin pengab menguburku dalam asap.

Aku Ingin

Aku ingin menyeka titiik titik rinai yang tersisa
Dari hujan cinta yang bertubi mengurung kita
Di bilik paling tersembunyi kota kita yang luka

Aku ingin menyimpun ceceran nadi yang bergetar
Pada semusim anggur percintaan kita
Di dendam sekarat jiwa kita yang terlena

Aku ingin setiap saat pulang menuju lautmu
Dermaga paling damai
Dan tak terasa asing di perjalananku yang rahasia
Aku ingin menipu kelima inderaku
Dengan mencium bayangmu
Meraba suaramu
Memandang pelukmu
Mendengar dengusmu
Mencecap nafasmu
Di perhentian yang abadi

Aku ingin menggenggam ribuan angan
Yang sejenak telah kita umbarkan
Menjadi untaian manik di leherku
Menjerat dan mencekikku

Monday, April 11, 2005

Mantera Cinta

Aku bukan Shinta, kaupun bukan Rama
Kita hanya pendusta yang belajar menatap mataforgana
Menjadi nyata

Kitapun tak pernah sanggup
Membuka pasung pasung
Hanya dengan mantera cinta

Dalam Tempurung Otakku

Kisah demi kisah yang tertempurung dalam otakku
Mengendap dan diam
Melumpur sesekali
Atau melumut kemudian
Sambil terus menampung tanpa tumpah berjuta giga memori
berbagai kisah lagi , tanpa mesti berkeluh kesah

Gelas Kopi

Gelas kopi telah kosong
dan panas matahari mengelupas mimpi
pagi berderit panjang, siang menjelang
bayangmu masih lengkap
lengket di kelambu remang mataku
yang meriap mencari cahaya
hari

gelas kopi tetap kosong
kala aku mengupas bayangmu
menjadi serpihan serpihan kecil
dan kutaburkan lagi
di mataku yang masih meriap mencari siang
hari

Kiranya kristal kopi telah tercipta
Dari panggang terik matahari yang menembus
Gelas kopiku
Dan segera aku menjumputnya, menjejalkan di mata
Yang semakin remang menatap
Bayangmu

Dan aku semakin tak mengerti
Mengapa hari hari begitu pekat
Mengopi di gelas gelas yang masih saja kosong
menggemerincing

Wednesday, March 23, 2005

Sajak Anak Pesut

Seekor anak pesut berenang-renang di sungai Mahakam
Ibunya hilang diterkam nelayan
“ iibu,ibu,ibu….aku rindu’
sambil menyusu pada oleng perahu.


Samarinda 2004 di muat di buku puisi
On /Off Dian Sastro For President 3

Ode Buat Kawan

Tetapi aku bukan embun
Malam mengendap dan siang lenyap di bakar matahari

Juga aku bukan telaga
Tempat berteduh dan melepas dahaga

Bukan juga lautan
Apalagi pelangi di awan

Karena aku hanya tepian
Antara bayang dan kenyataan

Bpp 2004 di muat di buku puisi
On/off Dian Sastro For President 3

INSOMNIA

Bumi telah tertidur
Malam
Malam

Terkenang akan gambarmu
aku berbicara pada gelap
tentang rindu tak berkesudahan

Malam telah tua
Merangkak kunang kunang ke tepi rembulan
Tapi aku masih saja merasa muda
untuk mencintaimu

Tenggelam pula riuh jagat raya
Kini senyap menelan segala kelam
Tapi aku masih saja merasa berwarna
Untuk mengirimimu sejuta pesona

Aku tak bisa tidur lagi
Sibuk berdandan , merias diri
Untuk menjadi pengantin wanitamu, suatu kali

Dadaku Penuh PAsir

Dadaku penuh dengan pasir
Berbukit bukit , berlereng lereng,
berceruk ceruk , berlembah lembah,
terjal dan curam
berbatu batu, berlumut lumut
berkarang karang, berombak ombak
tajam dan licin

dadaku sarat dengan pasir
membentuk istana
puri persemayaman raja

dan dadaku penuh dengan pasir
yang menimbun nama nama
setiap laut pasang
mengirimkan riaknya


( 22 03 05 )

Tuesday, March 08, 2005

PELANGI

Tak ada mimpi
malamku basi
Bulan hanya setengah
dan pungguk masih terperangah

Hujan rintik
aku lupa
bahwa pelangi tak mungkin turun
di malam hari

ZIARAH GITAR

Temaram kalbu
denting gitarmu
serukan rupa rupa sejarah
meliuk di pusaran arah

Pintu telah berderit
buka,tutup
tutup,buka
dan linangan air mata
memaksaku berziarah
sepanjang perjalanan kasat mata

kelok kelok nada
melenting lentingkan ingatan
kubayangkan separuh umurku di masa silam
telah terbenam di hunian syurga yang hilang
terbuat dari janji gitar tua
mendenguskan alunan syair jiwa

Sebongkah kenangan melesat
menusuk nusuk bola mataku
pecahkan gendang telinga
oleh dawai dawai
melagukan impian pengantin yang tak beranjang

Kini usai
dan kita pulang membawa penat
ke masing masing lingkaran
berputar putar mencari pintu
di tanah yang lapang

PERJALANAN

Aku belum benar benar mengerti
arah kemana,saat itu
kita berjalan
melewati malam dan sunyinya padang
mengarungi petang dan gaduhnya jeram

Ku kira kita akan berlabuh di dermaga
andai laut menanyakan tujuan

Tapi bahtera terus melaju,menderu
meninggalkan angin
dan ternyata samudera begitu besarnya
Arung kita tak ada tepi

Lima benua,ribuan selat,jutaan pulau
karang,lautan es,gelombang,badai taufan
telah lalu
dan oleh peluit panjang mercu suar,kita terhentak
kembali menghitung koordinat koordinat,menghampar peta
dan tentukan kapan,dimana hendak mendarat.

( untuk ps )