Saturday, March 11, 2006

BUNGA LIAR YANG TUMBUH DI RAMBUT MAYANGMU

Dan sore itu
Tetes madu yang jatuh dari bibirmu
Telah membasahi seluruh lantai dansa

Seperti engaku telah memaniskan
Sekuali racun
Demikianlah telah terpikat ribuan lebah
Pada sekelopak mawarmu
Yang ranum
Yang merah

Tapi benarkah madu?
Ketika pilihan menjadi teramat pelik
Dan rantai rantai tak jua mampu membelenggumu
Kau melenggang di tengah padang gersang
Dengan sekepal gundah yang tiba tiba datang
Sama seperti angin yang kencang mengirim hujan
Tanpa kau sempat berteduh dari terjangnya

Lalu pagi ini kau terjaga
Mengusap salju yang mulai membatukan mayang rambutmu
Disitu juga telah tumbuh setangkai bunga liar
Ya, setangkai bunga liar
Yang menjulur, meriap diantara ikal mayang rambutmu
Membuat wajahmu nampak eksotik
Lugu namun menggoda
Hmm….

Hen, setangkai bunga liar itu tak sepadan sebenarnya
Dengan sekelopak mawar yang tumbuh dari hatimu
Betapa kecatikan yang berbeda telah membuatmu ngungun

Ini hidup Hen, mesti selalu bertarung
Dengan mesin waktu yang tak juga tercipta
Detik terus saja berjalan
Yang pudar hanyalah jasad, tubuh, rupa, badan, raga
Tapi tidak dengan jiwa, ruh, hati nurani, budi baik dan pekerti mulia

Melangkahlah tanpa ragu, Hen
Cabutlah setangkai bunga liar itu
Sebelum rimbun kepalamu oleh akar belukarnya
Wangikan saja dunia dengan sekelopak mawarmu
Warnai dengan pesona merahnya

Seperti sore ini
Secangkir teh hangat tersaji di meja kita
Telah manis oleh kerlingmu

TEROMPAH DI BULAN DUA

Ndah, seperti separuh siang yang kau tinggalkan
Kota kita begitu pucat kau lihat dari tengah angkasa
Kala kau melarung berbagai nama dari kaca pesawat
Menabur berbagai ganjalan dari dadamu yang membusung
namun kempis itu
sekempis relung yang kau coba pompa dengan rupa rupa lelaki
Namun tetap kosong
tapi ah, abaikan saja
ruang itu tetap saja kosong melompong
tak pernah terisi
sejak musim kemarau delapan purnama yang lalu

aku tahu , Ndah
di nadimu yang kencang berdegub
kekhawatiran kekhawatiran itu tak juga luruh
meski sejuta senyum , sejuta peluk terbentang untukmu
telah es, telah beku semua di hadapanmu, bukan?

Sekaranglah waktunya, Ndah
Rehat dari segala keruh
Henti dari segala gemuruh
Lingkaran tetap saja lingkaran
Sebelum kau berhasil menembus dinding waktu

Taklukkan luka itu , Ndah
Duri selamanya duri, jika kau tak mengubahnya menjadi sebatang korek api
Sulutlah dengannya, dan bakarlah masa lalu
Hingga abu, hingga debu
Usaplah segala jelaga
Lempar jauh jauh dari jendela pesawatmu

Dari ketinggian itu, Ndah
Tentu saja kau lihat tangan mana yang menari
Dan tangan mana yang bersedeku
Melihat kemalanganmu
Dan dari atas situ
Tentu saja kau dengar
Mana tangisan dan mana nyanyian
Saat kau dilanda prahara

Mungkin , sandal jepit yang kau kenakan
Telah saatnya berganti terompah, Ndah
Agar langkah lebih tegap dan nyaman
Menuju kemenangan
Meninju kemalangan.

CERITA DARI PULAU TAK BERNAMA

Telah kering embun di jendela kamarku
Ketika burung burung pipit menobatkan siang ini menjadi milik kita
Ada kilau mentari yang menyeruak dari balik dedaunan kelapa
Dan ombak meluap dari birahi matamu
Oh, nanar nian aku menterjemahkan belaimu
Hingga tenggelam ufuk ke pedalaman mimpi kita.

Kesepian kita memang terganjal oleh binalku , binalmu
Tapi lihat itu, dadamu masih saja terlihat batu
Menindih patung patung , entah berapa jumlahnya
Dan aku terus menatap keriuhan
Yang terbit dari tetes air matamu
Oh, alangkah kentalnya duka disana

Bayangan yang mana pula yang telah engkau hempaskan
Lalu kembali kau pandang pandang
Menarik ulur kenangan kenangan usang
Akankah benar kau mampu menuangnya
Ke samudera luas?

Seperti rayuan seekor camar pada karang
Aku mengajakmu bersetubuh kini
Agar luka tak terlalu pedih
Agar memar tak terlalu biru
Agar batu tak terlalu karam
Agar panah tak terlalu nancap
Agar tangis tak terlalu isak
Agar jatuh tak terlalu debum

ELIPS

Yang terentang dari sudut ke sudut pandang matamu
Menggenapkan rasa yang tumpah sore itu
Madu telah bercampur anggur
Dan senja yang larut di bawah kaki kita
begitu pekak di telinga.

Keindahan ini telah menjadi renda
Di meja meja elipsku
Barangkali kenangan tua telah lelah
mengelabuhiku.

Ada reguk ada hirup ada kerling
Dan biarkan sejenak aku mabuk
Di sela sela jemari tanganmu.

SOSITET

Ruang kita masih saja menyimpan suara suara
berdebum menghentak beberapa kelebat wajah
yang kian asing , kian kental dengan warna darah
: luka kita yang ungu.

Disudut ruang masih tertumpuk lembaran lembaran koran tua
Bercerita ihwal stomata di daun daun yang kian mengering
Kian terbang luruh ke angkasa

Ruang bersenang kata kita, tempat memulihkan duka lara
Bukan lagi ruang penuh kupasan koreng , kuharap
Tapi monolit
Tapi sphink
Tapi menara


Pebr 06

LUKA

apakah bisa kau terbang dalam amuk badai
sedang sayapmu patah remuk bertindihan
dengan mayat mayat binatang

apakah bisa kau berlari dalam hujan
kala kaki terikat dalam jerat
belikat pepohonan yang luka

apakah bisa kau sekedar berjalan
pabila tanah yang kau pijak retak berderak
mendebumkan segala tumbuhan
apakah bisa kau rasakan
hati yang luka tertebas pedang
setelah percintaan semalam suntuk

engkau, cobalah mengerti
luka ini sungguh pedih perih
menganga meski bertaburan bunga kata kata