Wednesday, August 13, 2008

PADAM

Dan padang lengang penuh oleh kesunyian

Ombak menerkam malam

Purnama telah padam

Benarkah pualam ataukah batu nisan, mataku kabur nanar menatap sebentuk bayang

PERJALANAN

berjalan menyusuri lorong lorong hitam

dengan kedai kedai berasap aroma dosa

diantara anjing anjing kampung berbulu tipis mengendusi kaki para pelacur

yang menimang kucing bebulu kusut

kulihat sekeping kenangan berwarna legam

terjatuh dari saku seseorang

sebuah sungai kuseberangi

keruh airnya mengalirkan kekalutan

menuju laut berbuih coklat , tempat kanak kanak merendam mimpi

larut sebuah topi

yang melayang dari kepala seseorang

bersepeda lalu aku menuju desa

jalanan berbatu telah ditumbuhi lumut

seorang kakek tua terbungkuk menggendong jerami di punggungnya

dan beberapa remaja mencoba belajar naik sepeda motor

hasil jerih payah menanam palawija

kusaksikan seekor sapi lepas

dari kandang seseorang

pulang aku menuju rumah

sebuah tiang roboh mencecerkan semua barang

terhambur semua tulang leluhurku

dan sunyi yang amat panjang mengurungku disana

PINTU

Berapa lama lagi sayang

Pintu yang berderit buka tutup buka tutup itu

berhenti.

Entah buka

Atau tutup

Angin memang masih saja kencang bertiup

Karena hari memang makin senja

Sebentar lagi gelap mengurung kita.

Masuklah,dan kau tutup pintu rapat rapat

Atau keluarlah, dan kita pergi jauh jauh

Sebab angin menyukai pintu yang setengah tertutup setengah terbuka

Dan badai bisa saja menghempaskannya tiba tiba

PETI KEMAS

Menambang emas yang lahir dari matamu

: kerlip dolar jatuh berdenting denting menjadi pawai angin.

Lalu kupunguti satu persatu cairan putih beningnya, lewat kutukan kutukan yang membahana.

”langit merah saga, bumi terbelah dua, laut meluap kemana mana”

sorga terbuka

neraka menganga

nenek moyang kita telah mengajarkan beribu ribu doa

dan kita menambahkan dengan aneka logika.

Aku menunduk, ratapi semua

Tapi jasad telah beku dan roh mengelana entah nuju mana.

Tuesday, August 12, 2008

VIOLET

Lajur malam belum lagi di mulai

Kita namai saja ini senja panjang

Menghampar bagai rumput hijau

Di tepi danau pengantin

Kubisikkan pada senyap yang membasah di lenganku

Sebuah rindu yang menyengat

Dan kubiarkan This Masquerade menguar gemulai di ruang kita yang kosong

Kau datang dalam angan

Benar datang

: Dalam angan

bersama segelas gin tonic

tumpah pula kesedihan

meledak ledak di kepala

:sebuah sunyi

( yang membelenggu bayangmu)

senja masih simpan violet cahaya

dalam remang aku bersijingkat ingin mengelebuhi waktu

tapi kini malam telah tiba

pekat gelapnya

dalam kabut, kuharap pagi mempertemukan kita

KUDA LUMPING

Tubuh siapa itu menari nari , setengah ekstase memenuhi panggilan dunia lain

Tubuh siapa itu bergelempangan di rerumputan

Meraung raung tercabut separuh nyawa

Roh siapa itu beterbangan

Hinggap kesana kemari

Jiwa jiwa kehilangan arah

Menunggangi tubuh tubuh kosong

Dan seperangkat gamelan yang berdengung gaduh

Sinden yang nembang jerit miris

Lecutan cemeti memecah gemuruh

Lenguhan, tendangan, brutal gerakan atau gemulai tarian

Anak anak yang berlarian

Pesta arwah di sepetak tanah yang di jaga para tetua

Sungguh, aku melihat dunia kubur dari secelah jendela

Jiwa jiwa dipanggil

Tubuh tubuh bersedia

Maka menyatulah dunia mati dan hidup

Aku terpekur

Matahari tepat diatas kepala

Bayanganku menyatu dengan bumi

Lalu rentak tari menikam jantungku

Tiba tiba

Shantined, 8 juni 2008 , wondered by kuda lumping show.

PRELUDE

Serupa lagu nina bobok yang dinyanyikan bidadari terus menerus sepanjang hari, maka aku mengantuk oleh timanganmu.

Dan saat lelapku, kau pergi mengendap endap, tanpa alas kaki, tanpa busana, tanpa nama, tanpa raga, tanpa jiwa.

Ngungun aku ketika terbangun

Kau tak ada !

Empty Street

Tirus wajah bulan meneteskan darah

Malam malam begini apa yang kan kubuat

Jalanan lengang, tak nampak sesuatu buat teman

Langkahku lalu gontai nuju dermaga

Yang semakin berkecipak airnya

Ada dingin disana

Menusuk nusuk bayangan kita yang seminggu lalu berdiri bersama disini menyusun cinta.

Malam telah bertambah tua, angin deras menerpa syalku yang melambai lambai

Bulan makin pasi

Langit kelam hendak mengirim hujan pada bumi

Aku kembali pada jalan yang lengang , hanya riuh desing angin menyemburatkan debu jalanan.

Aspal makin hitam, rinai turun, udara basah

Malam tembaga

Jalanan kosong menyimpan kesedihan kesedihan yang tak terelakkan.

Andai , seandainya

Kekosongan ini kau isi

: dengan dalam dalam kasihmu

tentu sepi ini tak tergambar jelas di langit malam ini.

Tapi sengaja kupilih diam dan berjalan sendirian

Agar api tak membakar, agar air tak menenggelamkan

Saturday, March 11, 2006

BUNGA LIAR YANG TUMBUH DI RAMBUT MAYANGMU

Dan sore itu
Tetes madu yang jatuh dari bibirmu
Telah membasahi seluruh lantai dansa

Seperti engaku telah memaniskan
Sekuali racun
Demikianlah telah terpikat ribuan lebah
Pada sekelopak mawarmu
Yang ranum
Yang merah

Tapi benarkah madu?
Ketika pilihan menjadi teramat pelik
Dan rantai rantai tak jua mampu membelenggumu
Kau melenggang di tengah padang gersang
Dengan sekepal gundah yang tiba tiba datang
Sama seperti angin yang kencang mengirim hujan
Tanpa kau sempat berteduh dari terjangnya

Lalu pagi ini kau terjaga
Mengusap salju yang mulai membatukan mayang rambutmu
Disitu juga telah tumbuh setangkai bunga liar
Ya, setangkai bunga liar
Yang menjulur, meriap diantara ikal mayang rambutmu
Membuat wajahmu nampak eksotik
Lugu namun menggoda
Hmm….

Hen, setangkai bunga liar itu tak sepadan sebenarnya
Dengan sekelopak mawar yang tumbuh dari hatimu
Betapa kecatikan yang berbeda telah membuatmu ngungun

Ini hidup Hen, mesti selalu bertarung
Dengan mesin waktu yang tak juga tercipta
Detik terus saja berjalan
Yang pudar hanyalah jasad, tubuh, rupa, badan, raga
Tapi tidak dengan jiwa, ruh, hati nurani, budi baik dan pekerti mulia

Melangkahlah tanpa ragu, Hen
Cabutlah setangkai bunga liar itu
Sebelum rimbun kepalamu oleh akar belukarnya
Wangikan saja dunia dengan sekelopak mawarmu
Warnai dengan pesona merahnya

Seperti sore ini
Secangkir teh hangat tersaji di meja kita
Telah manis oleh kerlingmu

TEROMPAH DI BULAN DUA

Ndah, seperti separuh siang yang kau tinggalkan
Kota kita begitu pucat kau lihat dari tengah angkasa
Kala kau melarung berbagai nama dari kaca pesawat
Menabur berbagai ganjalan dari dadamu yang membusung
namun kempis itu
sekempis relung yang kau coba pompa dengan rupa rupa lelaki
Namun tetap kosong
tapi ah, abaikan saja
ruang itu tetap saja kosong melompong
tak pernah terisi
sejak musim kemarau delapan purnama yang lalu

aku tahu , Ndah
di nadimu yang kencang berdegub
kekhawatiran kekhawatiran itu tak juga luruh
meski sejuta senyum , sejuta peluk terbentang untukmu
telah es, telah beku semua di hadapanmu, bukan?

Sekaranglah waktunya, Ndah
Rehat dari segala keruh
Henti dari segala gemuruh
Lingkaran tetap saja lingkaran
Sebelum kau berhasil menembus dinding waktu

Taklukkan luka itu , Ndah
Duri selamanya duri, jika kau tak mengubahnya menjadi sebatang korek api
Sulutlah dengannya, dan bakarlah masa lalu
Hingga abu, hingga debu
Usaplah segala jelaga
Lempar jauh jauh dari jendela pesawatmu

Dari ketinggian itu, Ndah
Tentu saja kau lihat tangan mana yang menari
Dan tangan mana yang bersedeku
Melihat kemalanganmu
Dan dari atas situ
Tentu saja kau dengar
Mana tangisan dan mana nyanyian
Saat kau dilanda prahara

Mungkin , sandal jepit yang kau kenakan
Telah saatnya berganti terompah, Ndah
Agar langkah lebih tegap dan nyaman
Menuju kemenangan
Meninju kemalangan.

CERITA DARI PULAU TAK BERNAMA

Telah kering embun di jendela kamarku
Ketika burung burung pipit menobatkan siang ini menjadi milik kita
Ada kilau mentari yang menyeruak dari balik dedaunan kelapa
Dan ombak meluap dari birahi matamu
Oh, nanar nian aku menterjemahkan belaimu
Hingga tenggelam ufuk ke pedalaman mimpi kita.

Kesepian kita memang terganjal oleh binalku , binalmu
Tapi lihat itu, dadamu masih saja terlihat batu
Menindih patung patung , entah berapa jumlahnya
Dan aku terus menatap keriuhan
Yang terbit dari tetes air matamu
Oh, alangkah kentalnya duka disana

Bayangan yang mana pula yang telah engkau hempaskan
Lalu kembali kau pandang pandang
Menarik ulur kenangan kenangan usang
Akankah benar kau mampu menuangnya
Ke samudera luas?

Seperti rayuan seekor camar pada karang
Aku mengajakmu bersetubuh kini
Agar luka tak terlalu pedih
Agar memar tak terlalu biru
Agar batu tak terlalu karam
Agar panah tak terlalu nancap
Agar tangis tak terlalu isak
Agar jatuh tak terlalu debum

ELIPS

Yang terentang dari sudut ke sudut pandang matamu
Menggenapkan rasa yang tumpah sore itu
Madu telah bercampur anggur
Dan senja yang larut di bawah kaki kita
begitu pekak di telinga.

Keindahan ini telah menjadi renda
Di meja meja elipsku
Barangkali kenangan tua telah lelah
mengelabuhiku.

Ada reguk ada hirup ada kerling
Dan biarkan sejenak aku mabuk
Di sela sela jemari tanganmu.

SOSITET

Ruang kita masih saja menyimpan suara suara
berdebum menghentak beberapa kelebat wajah
yang kian asing , kian kental dengan warna darah
: luka kita yang ungu.

Disudut ruang masih tertumpuk lembaran lembaran koran tua
Bercerita ihwal stomata di daun daun yang kian mengering
Kian terbang luruh ke angkasa

Ruang bersenang kata kita, tempat memulihkan duka lara
Bukan lagi ruang penuh kupasan koreng , kuharap
Tapi monolit
Tapi sphink
Tapi menara


Pebr 06

LUKA

apakah bisa kau terbang dalam amuk badai
sedang sayapmu patah remuk bertindihan
dengan mayat mayat binatang

apakah bisa kau berlari dalam hujan
kala kaki terikat dalam jerat
belikat pepohonan yang luka

apakah bisa kau sekedar berjalan
pabila tanah yang kau pijak retak berderak
mendebumkan segala tumbuhan
apakah bisa kau rasakan
hati yang luka tertebas pedang
setelah percintaan semalam suntuk

engkau, cobalah mengerti
luka ini sungguh pedih perih
menganga meski bertaburan bunga kata kata

Thursday, December 22, 2005

PILU

Semangkuk kuah tubuhmu tertumpah lagi sore itu
Dan daging semburat di lengangnya
Tak ada aduh, tak ada erang
Hati telah matang terpanggang, rasa telah luruh dipelataran
Dingin dan endap
Tak ada kesumat

Lalu apa yang membuat senyummu mengembang
Jika sepoi angin tak lagi datang
Jika derit pintu telah menjebakmu
Dengan bermacam macam gelap
Jika elang telah mematuk sirna semua bangkai mimpimu
Jika embun tak lagi dingin
Lalu apa?

Apakah seribu bulan yang kau simpan dibenakmu
Telah padam ?
Tidak , jawabmu
Lalu apa?

Debu ditubuhmu bertutur
Tentang jalan panjang , penuh kelok dan curam
Telah membuatmu patung batu
Tapi kau tetap menari
Tertawa
Bersama magma dan luap bara

Aku jadi mengerti kini
Kramadangsa* telah menyatu di jiwamu
Menggulirkan tubuh tubuh baru begitu kematian menderamu+
Oh, aku mengerti sekarang
Rasa telah menjadi tiang garam bagimu
Di padang Sodom dan Gomorrah

* kramadangsa : salah satu ajaran Ki Ageng Suryo Mentraman.
Balikpapan, 24 Okt 2005

DI KAMAR 308

( I )

Hening
Hanya lamat lamat suara lambung
Dan dzikir terselubung
Oleh amuk enzim
Yang bah di tubuhku

Ini kota asing
Kenapa musti disini?

Lalu aku teringat pulang
Betapa harum pesing anakku diranjang
Dan alangkah nikmat segala pekerjaan rumah

( II )

petang
matahari sembunyi di kolong lemari
dan bulan tiada benderang

tidurku memang lelap
tapi hati masih begadang

ceritakan padaku
dengan apakah aku akan pulang
nuju rumahMu?



( III)

kerinyit , desah, dan erangku
barangkali tertangkap kameraMu
tapi lihatlah, dengarlah
aku juga masih mengucap syukur
dibalik kemalanganku

gelimang sinar yang tumpah
saat keluar dari pintu
menyiram mukaku
menyiram sujudku
di sajadah yang kasat mata

telah kurasa duka musafir
kurasa manfaat muhabbat
dan kuamini doa sahabat
ditengah sakit

Samarinda, 11 Desember 2005
Di RS H Darjat , kamar 308

BALAIRUNG

Masih tegak bendera ditancap disini
Dan buku nama kian penuh
Pesta yang tak kunjung usai
Riuh , tumpah segala peluh

“mumpung hari masih terang” dalihmu
ketika makanan bertaburan dimeja meja
Dan gadis gadis ayu berjejer memagarimu
Menyanyikan ribuan syair dewata

Tentu saja riang celotehmu mengubur jerit
mereka yang tertimpa panggung tempatmu berpesta
bahkan mayat demi mayat kau tendang perlahan keselokan
setelah darahnya menetes habis untuk ngaliri pembuluhmu

Di Balairung ini
Tepuk tangan terdengar olehku sebagai gelegar guntur
Dan kata katamu semakin sumbang
Ayo, cepatlah pulang
Nampaknya hari akan hujan.


Bpp. 15 desember 2005

DEMONSTRAN

Carut marut itu,tuan
Segeralah dibereskan
Sebelum lukisan benar terlanjur basah diterjang hujan

Bahak bahak tuan yang tak perlu itu
Apakah setara dengan tangisan para peziarah
Disepanjang jalan pilu
Memunguti remah roti
Bercampur debu

Adakah lancang bibir kami
Sedang kelu sudah kami pagut sejak pagi
Tak jua merubah tata cara negara ini
Sebelum sore beranjak, ijinkan kami bicara sekali lagi

Kami lapar, tuan
Butuh makan

Bpp, 15 des 2005

Friday, October 28, 2005

MALKA

Tak ada dermaga lagi buat kita
Semenanjung murung, palung resah, hulu rebah, muara marah
Perahu kita lontang lantung
Melaut salah, merapat susah
Angin mengoyak layar
Dayung hanyut
Batu karang menghadang
Badai menantang

Telinga tuli oleh deru ombak
Mata buta oleh kabut
Kata tumpah oleh gelombang
Masihkah ada malka ?
Setidaknya mercu suar?

Friday, July 08, 2005

LARA DARA

Terbit dari lolong laramu, percik percik airmata
Telah bungkam mulutmu, oleh dentum dentum meriam
Dan telinga, telah kebal makian
Sedang mata telah juga buta oleh dera dan darah
Merintihlah, selagi bisa
Sekalipun senyum adalah mimpi terindah bagi hidup
yang kau rasakan terlalu panjang berbelit
“aku ingin mati saja” lirihmu berbisik
dan kulihat hatimu telah tergenang comberan

dara, laramu aku rasa
sobekan demi sobekan luka telah menganga
sundutan sundutan rokok, selomot seterika, guyuran panas air mendidih
kulit melepuh, rambut berondol, wajah lusuh,kurus tak terurus
(dan wajah majikanmu lelaki tercetak diwajah anakmu kelak)

takkah kau rasa ada seulur tangan menyambutmu
ditepi bibir jurang?

Aku merasakan sebagai dirimu
Maka tak hanya kurasakan deritamu, tapi derit lukamu
perih disekujur tubuhku
dan akan kubagikan senyumku menjadi lekuk lesung pipitmu
mengembang diwajahmu,lagi.

Dara, laramu aku rasa
Pulanglah
Negeri itu terlalu asing bagi kita
Sebelum dollar akan membunuhmu perlahan, menimbun semua mimpi
Dan jasadmu membusuk ditengah lautan darah

bpp, 8 juli 2005

KADAVER

Seperti mayat mayat yang mengapung dimatamu
Renik renik sejarah luka telah melaut
Rajam untuk tatap pandang
Seperti seiris silet , di nganga pembuluh darah
Menetes netes darah ,ngalir di suaramu yang mendesah
O, alangkah tipis selaput dusta
Membungkus sajak sajak cinta merah muda

Menggenang air matamu kau tumpahkan dialtar
Mengawali doa doa panjang
(dan Tuhan tetap tak memandangmu, bisikmu)
melalui lengking , engkau lalu bercerita
seekor kupu kupu yang hinggap didadamu
telah menghisap habis sari cintamu, maka kau hidangkan padaku
: setetes madu palsu
(buatan pabrik ,katamu)

dan tubuh masih saja hidup
meski jiwamu mati
maka seperti kadaver , perjalananmu tak utuh besertaku.
Menjalar akar di sepohon ,umbimu mengenyangkan
Dan rengkuhku tiba tiba meliuk liuk diangkasa
Untuk tumbang disedekap persetubuhan pertama
Luka adalah luka
Mayat adalah mayat

Ribuan belatung kini berenang dibening manik matamu
Dan dengan desis ularmu , engkau mulai merayu
Bersama sekawanan lolong serigala dan malam yang pekat
:telah kukuburkan nama
mu!

RINDU

melukis rindu disekanfas potretmu
kurasakan nisbi matamu
menyorot dari celah manik manik

menarikan rindu disepenggal lenggok bayangmu
kurasakan sublim pelukmu
menjalar dari gerak yang kaku

menyanyikan rindu disebait suaramu
kurasakan pilu
menderit dari gagu bisu lagu

bpp,juni 2005
shantined

Trilogi Pertanyaan

(I) INI SENJA?

Jika ini senja, maka tutuplah jendela
Agar aku tak masuk sebagai laron atau kupu kupu dikamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka hatimu menerima senyumku
Sekedar senyumanku.

Jika ini senja, maka jangan pamerkan keremangan
Lebih baik padamkan sekalian lampu kamarmu
Biarkan aku menunggu pagi kembali tiba
Membuka jendela dan kau longokkan kepala
Menemukan senyumku

Jika ini senja,maka berjagalah menuju pagi
Aku menunggumu dengan seuntai senyum
Atau bila kebosanan melandaku
Maka aku kan pergi berlalu

Mei 2005

(II) MALAM
Jika ini malam, maka gemboklah benteng benteng diluar kota
Sediakan sepasukan berani matimu dengan senjata mutakhir
Mungkin aku akan tetap datang
Hanya sebagai pengelana yang hendak menumpang istirah
di sudut sudut kotamu

Jika ini malam , maka palangkanlah segenap balok kayu dipintumu
Agar aku tak lagi menerjang mimpi

Bpp, mey 2005

(III) JIKA TIDAK
Bosankah kau dengan keterpisahan ini?
Kalau begitu, lebarkanlah sayapmu, datanglah padaku
Kita akan kawin di negara angin

Sedihkah kau dengan jarak ini?
Maka terjanglah ruang, halaulah kabut
Dan kita tetap akan satu selimut
Diatas gundukan bola bola salju

Pernahkah kau membayangkanku pergi?
Maka dekaplah dadaku, menyusulah padaku
Lalu engkaulah anak, aku ibu
Tak terpisah hingga ujung waktu.

Jika tidak,
Jangan pernah curiga,syak prasngka,mengeluh,mencaci,memaki
Karena jarak ini tidak akan berani
menundukkan cinta


bpp, Juli 2005

NELAYAN

Senja senja mati menelikung biduk biduk
Ombak ombak laut tak ikut mati tertelan bah
Bahkan terus saja menghanyutkan sampah sampah
Ribuan bangkai hewan,dan potongan potongan mayat
Ke kaki langit yang nampak semakin ganas melahap

Amuk laut melipat lipat nyali
Ikan kegirangan
Karang kedinginan
Mercu suar melengking lengkingkan sinarnya
Berpendar pendar , berpacu dengan kabut dan badai laut
Senja tampak malam
Dengan topan yang riuh menghantam dinding dinding awan
Turun juga : hujan

Jadi kuputuskan untuk pulang
Dengan jala dan bubu kosong di tangan


2004 shantined

Monday, May 02, 2005

FIRASAT

Langit masih sepi . Tanpa awan dan rembulan. Tanpa bintang,kunang kunang. Hanya gelap teduh memburam. Remang remang. Sepi, benar benar sunyi. Alam yang tertidur.
Sayu dan lemang. Keriyap meretas dari gaduh siang. Ini malam.
Telah ribuan kali kusebut nama kekasihku. Dalam lagu, dalam lirih bisik, dalam buai angan, dalam timang mimpi, dalam kenyataan. Betapa merdu yang kurasakan semakin absurd. Semakin pupus dalam bayang gelap entah darimana berasal. Seperti serombongan gagak yang tiba tiba datang mematuki bangkai. Berkoak koak memenuhi angkasa raya . Merayakan hari kematian yang menusukan aroma luka.
Ya, telah kucium aroma luka itu setiap kutatap matamu. Luka yang akan menyeretku dalam jurang teramat dalam.
Mungkin tak pernah kau sadari, dan bahkan tak akan kau mengerti. Firasatku sedemikian tajam. Mengupas segala keinginan untuk terus menyebut namamu.
Ya Tuhan, demi apapun aku tak ingin ini terjadi.
Disaat darahmu telah menyatu di darahku, namamu telah berkelana di namaku, dan denyut nadimu mengalir di nadiku.
Disaat kerinduan menjadi seujung tombak bagi pertemuan demi pertemuan. Ketika gelora asmara menenggelamkan semua perahu , membuihkan ombak surga. Ketika airmata menjadi kristal dibening mataku saat rindu meluap luap.
Oh kekasihku, langit makin sepi, makin sunyi. Malam berderit derit. Menyeret bayangan demi bayangan yang manis tersimpan.
Amuk kita yang pertama di sebuah altar penuh bunga, lalu kedua ditepi telaga,ketiga dikota tempat engkau mengenal cinta, keempat , kelima, keseratus, keribu,kesejuta….dan kini hanya kudapati sebuah penjara. Jeruji jeruji tajam yang siap mengurungku. Dan kau tetap menari diujung sana. Bersama dewi yang kau idam idamkan.Sungguh inikah akhir dari perjalanan kita?
Terlalu singkat . Terlalu manis. Terlalu cinta. Terlalu sayang.Terlalu mesra. Terlalu cemburu. Terlalu pahit. Terlalu getir. Terlalu gelap. Terlalu sakit. Terlalu darah. Terlalu mati.
Sedang cinta ini tanpa sekat dinding. Tanpa batas . Tanpa akal aku mengikuti alurnya. Menabrak segala puing. Melabrak segala jeram. Segala rupa warna telah kuramu sedemikian eloknya untuk menuliskan namamu dibuku hidupku. Segala wangi kembang telah kurangkai untuk menghirup harummu. Segala denting nada telah kugubah untuk menyebut merdu namamu.
Dan segala yang ada itu kini pupus satu persatu. Tanpa angin, tanpa badai.
Pupus begitu saja.
Mawar yang layu melepaskan kelopak kelopaknya, sebelum musim serangga memakan habis tangkai dan seluruh bunga.
Musim cinta kita telah landas, kekasihku. Terasakah olehmu isak tangisku yang paling menyayat ketika kau sentuh tangannya? Dan jerit batinku yang luka menganga ketika dihadapanku kau membujuk rayunya?
Inilah jurang . Inilah prahara. Inilah petaka.
Entah sehabis ini aku menuju mana.
Setelah laut yang teduh kau janjikan mendeburkan badai.
Sungai yang tenang kau tawarkan menghanyutkan bangkai bangkai binatang.
Langit yang biru kau mimpikan penuh dengan kaok gagak pemangsa tubuhku.
Hendak kemanakah aku?
Berlayarkah aku menuju pulau sunyi ,sendiri membawa batu batu dibahuku?
Atau kurasa lebih baik aku tenggelam disini , di danau buaya yang amis dan berular naga.
Duhai kekasihku, untuk sekali ini saja.
Dapatkah kau bayangkan betapa merah marun itu menjadi ungu tua. Penuh bercak darah.
Oleh sembelihmu aku akan mati perlahan lahan. Meneteskan tak saja airmata duka, tapi lelehan air kematian yang sayup akan memenuhi peta perjalananku.
Entah akan kulanjutkan atau tidak hidup ini. Karena jantungku telah tak berdetak lagi.
Nadiku beku. Ruhku pergi.
Dan malam bertambah senyap. Gerimis merinai .
Dingin menghebat.
Yang terdengar hanyalah suara jengkerik dan lagu kematian melengking lengking dari kamarku yang semakin pengab menguburku dalam asap.

Aku Ingin

Aku ingin menyeka titiik titik rinai yang tersisa
Dari hujan cinta yang bertubi mengurung kita
Di bilik paling tersembunyi kota kita yang luka

Aku ingin menyimpun ceceran nadi yang bergetar
Pada semusim anggur percintaan kita
Di dendam sekarat jiwa kita yang terlena

Aku ingin setiap saat pulang menuju lautmu
Dermaga paling damai
Dan tak terasa asing di perjalananku yang rahasia
Aku ingin menipu kelima inderaku
Dengan mencium bayangmu
Meraba suaramu
Memandang pelukmu
Mendengar dengusmu
Mencecap nafasmu
Di perhentian yang abadi

Aku ingin menggenggam ribuan angan
Yang sejenak telah kita umbarkan
Menjadi untaian manik di leherku
Menjerat dan mencekikku